Jika demikian adanya, mereka mulai menghitung-menghitung, mulai terjadi transaksional, tidak mengapa mengeluarkan cuan, toh! Pada saat-nya saya akan menerima cuan kembali sebagai pembayaran tunjangan ini dan itu.
Idealnya bila kita mengembangkan suatu keilmuan, atau adanya suatu temuan, minimal kita akan dihargai dengan beberpa besaran cuan tertentu. Namun, kini, hasil pengembangan keilmuan kita tersebut, bila akan dipublis, justru kita yang akan mengeluarkan cuan.
Saya tidak mengetahui dinamika yang berkembang, apakah memang pola dan cara akan membudaya, atau karena adanya dorongan gaya hidup glamor, dan atau hedonis. Mungkin Anda tertarik mendalaminya, silakan saja kaji lebih jauh lagi!.
Pengalaman saya, pada saat saya akan mempublikasikan hasil penelitian pada suatu Jurnal Sinta, suatu saat saya ditelpon pengelola untuk menyetor cuan dalam angka ratusan ribu rupiah. Konon semakin tinggi tingkatan jurnal Sinta (misalnya; Sinta 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya), maka semakin tinggi cuan yang harus kita setor. Saya kaget, selama ini saya dibayar, eh, ternyata saya harus membayar.
Yang Biasa Sudah Tidak Biasa Lagi.
Pada bagian lain, kita justru dihadapkan pada suatu kondisi yang bertolak belakang (trade-off). Selama ini, di satu sisi, bila kita mempublis suatu tulisan/artikel/karya ilmiah/hasil peneltiian pada suatu media massa atau jurnal, kita akan memperoleh cuan yang diberikan oleh lembaga yang mempublisnya. Namun, karena lembaga tersebut saat ini sudah dihadapkan masalah cuan, sehingga mereka dengan berat hati, tidak dapat lagi memberikan balas jasa atas tulisan/artikel/karya ilmiah/hasil penelitan yang akan kita publis tersebut.
Misalnya, beberapa media massa, sebelum pandemi, memberikan honor atas tulisan/artikel  kita yang berhasil diterbitkan pada media massa tersebut, apakah itu koran, tabloit, majalah dan juga televisi bila kita mengisi acara talkshow. Namun, kini hanya beberapa media massa saja yang masih bertahan memberikan cuan berupa honor tersebut.     Â
Memang saat ini, mereka masih tetap menerima tulisan/artikel kita, namun mereka tidak  dapat memberikan balas  jasa berupa honor seperti yang biasa kita terima sebelumnya. Mereka tetap masih menyediakan kolom opini dan kolom lainnya, untuk para pembaca atau publik yang akan menulis artikel, namun mereka tidak lagi membayar honor dengan besaran cuan yang sering mereka berikan sebelumnya.
Hal ini mereka lakukan, karena perusahaan media mereka mengalami penurunan "oplah" dan penurunan "pemasang iklan", karena media untuk mengiklankan suatu produk sudah tersedia berbagai pilihan. Bahkan, pelaku bisnis saat ini tidak jarang memanfaatkan media sosial sebagai media untuk mengiklnakan suatu produk mereka.
Bagimana Sikap Kita?
Dalam menyikapi fenomena ini, berbagai tanggapan yang mucul dikalangan kita. Ada yang menanggapinya dengan berpikir sepintas, "ngapain" capek-capek menulis, kalau pada saatnya tidak memperoleh cuan alias tidak di bayar. Ada yang menanggapi "tidak mengapa" yang penting bisa menularkan kelilmuan yang dimiliki, yang penting bisa "mengabdikan" ilmu dikalangan khalayak atau publik.