Oleh Amidi
Â
Beberapa hari ini ruang publik diramaikan oleh aktivitas demo yang dilakukan oleh kalangan mahasiswa dan atau kalangan intelektual dan  kelompok masyarakat  lainnya.
Mereka menyambangi wakil mereka yang terhormat di Gedung tempat mereka bernaung (baca : Gedung DPR/DPRD), dalam rangka menyuarakan aspirasi mereka agar demokrasi di negeri ini tetap terjaga dan berjalan dengan baik, salah satunya untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berhubungan dengan pilkada tersebut.
Bila di simak, adanya hiruk pikuk dalam kancah perpolitikan di negeri ini, lebih kental karena adanya unsur beberapa kalangan yang berorientasi pada cuan alias memburu cuan/uang. Sebenarnya sah-sah saja bila aktivitas yang kita lakukan tersebut membuahkan cuan, namun jangan sampai menggadaikan harkat dan martabat kita.
Bentuk lain Memburu Cuan.
Bila di simak, sebenarnya tidak sedikit aktivitas yang kita lakukan, sadar atau tidak, terkadang kita lebih berorientasi pada cuan semata, tanpa mempertimbangkan harkat dan martabat kita sendiri dan orang lain.
Dalam proses perpolitikan di negeri ini, terkadang yang lebih menonjol unsur "transaksioal" ketimbang unsur demokrasi dan kebebasan dalam menggunakan atau menjalankan hak-hak kita (baca: selaku pemilih / selaku konsumen). Unsur cuan sangat kental, baru akan  (berencana) untuk nimbrung dalam kancah perpolitakan (mau mencalonkan diri dalam pilkada atau lainnya), bakal calon harus menyiapkan cuan yang tidak kecil dan ini bukan rahasia umum lagi.
Terkadang "kaget" mendengarkannya, karena cuan yang harus mereka siapkan dengan angka yang tidak kecil, miliyan bahkan triliunan. Suatu angka yang sangat bombastis, bukan?. Jika kita tidak memiliki cuan yang banyak, kita akan kalah dalam bersaing, dengan kata lain jauh panggang dari api untuk memenangkan persaingan (terpilih).
Secara ekonomi, bila ada sesuatu yang kita keluarkan (baca:cuan), maka ia harus mendatangkan cuan kembali. Setiap kali ada pertambahan investasi, maka kita berharap akan ada tambahan "return" atau "hasil" yang akan kita peroleh. Begitulah pengandaian dalam suatu aktivitas lainnya, apakah aktivitas perpolitikan atau lainnya.
Hal ini akan lebih miris lagi, bila kita lakukan pendekatan dalam kancahr merebut suatu jabatan dalam organisasi kemasyarakatan dan atau keagamaan. Tidak jarang dalam proses merebut jabatan tersebut atau dalam bermusyawarah, kita mendengar ada "kursi terbang", karena ada komponen organisasi ambisi untuk merebut jabatan tersbut atau karena jabatan tersebut di raih oleh bukan jagoannya.
Dalam tulisan saya tentang persoalan menyambut perayaan kemerdekaan, sudah saya sitir juga bahwa berbagai lomba yang disajikan oleh panitia lomba, memang  sangat diminati oleh peserta lomba demi memburu cuan,  terlepas dari bentuk/jenis perlombaan tersebut mengikis nilai kemanusiaan dan mengangkangi harkat dan martabat mereka.
Bila dicermati, tidak hanya kasus di atas saja yang menggambarkan suatu aktivitas yang berorientasi cuan, namun mengabaikan nilai-nilai kemansuiaan dan harkat serta  martabat anak negeri ini, tetapi masih ada lagi aktivitas yang kita lakukan terkadang "hanya" berorientasi pada cuan tersebut.