Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Memahami Secara Mendalam Kesulitan Keuangan Kelas Menengah-Bawah

12 Agustus 2024   06:43 Diperbarui: 13 Agustus 2024   10:22 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para pekerja kantor berada di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, saat jam pulang kerja, Jumat (24/3/2023). (KOMPAS/RADITYA HELABUMI)

Oleh Amidi

Terinpirasi dari berbagai tulisan yang disajikan media tentang kesulitan kelas (ekonomi) menegah-bawah, saya tergelitik menulis artikel ini. Akhir-akhir ini persoalan yang di hadapi mereka semakin nyata, barang kali termasuk kita juga mengalami hal yang sama.

Impitan "kehidupan" yang menerpa kelas mengah terlebih kelas bawah ini, memacu kita bukan hanya sekadar harus "peduli", tetapi menuntut kita harus berbuat banyak, sesuai dengan kapasitas dan profesi yang terpatri pada diri kita.

Meneropong Kehidupannya.

Saudara kita ini dan mungkin termasuk kita yang membaca artikel ini, termasuk saya bila didalami "mungkin" sudah merasakan hal yang sama, sudah mulai merasakan "kesulitan" yang sama. Sebelumnya kita masih tergolong kelas menengah, bisa saja saat ini kita sudah turun kelas menjadi kelas bawah.

Tidak berlebihan, dalam hal ini, kalau dikatakan bahwa memang kita harus berjuang dan berjuang dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Kehidupan serba glamor dan hedonis ini, terkadang mendorong kita untuk memaksakan diri "mengangkangi" kemampuan yang ada pada diri kita.

Tidak sedikit anak negeri ini, terlebih yang tergolong dalam kelas menengah dan kelas bawah yang harus memaksakan diri untuk ikut memerankan diri dengan gaya "glamor dan hedonis" tersebut. 

Secara sederhana, dalam memenuhi kebutuhan akan komunikasi saja, yakni membeli handphone, mungkin kita belum mampu membeli handphone merek tertentu yang mengangkat "gengsi", namun karena adanya dorongan lingkungan yang menampilkan diri dengan gaya "glamor dan hedonis", sehingga kita terkadang memaksakan diri untuk membeli handphone dengan merek yang "bergengsi" tersebut, walaupun membelinya secara kredit atau membeli pada toko yang menawarkan harga sedikit miring, karena handphone tersebut tidak dilengkapi dengan garansi dan kelengkapan penjualan sebagaimana lazimnya.

Tidak sedikit emak-emak yang memaksakan diri untuk menenteng "tas tangan" yang bermerek atau yang tergolong kualitas kelas dua, namun harganya masih relatif mahal. Ini semua, karena lagi-lagi adanya dorongan gaya hidup glamor dan hedonis tersebut, baik dorongan dari luar maupun dari diri sendiri.

Tidak hanya itu, masih banyak lagi dinamika yang melanda anak negeri ini yang tergolong kelas menengah dan bawah tersebut. Baik dalam memenuhi kebutuhan sekunder atau kebutuhan sekunder yang sudah tergolong dalam kebutuhan primer maupun dalam memenuhi kebutuhan pokok sendiri. 

Ada karena Unsur Terpaksa.

Bila disimak, bahwa tidak semua pemenuhan kebutuhan yang dilakukan oleh kalangan kelas menengah dan bawah tersebut, karena mereka memang sudah mampu dan atau karena memang mereka sudah benar-benar mempunyai cuan/uang yang cukup, tetapi "terkadang" karena ada unsur "kerterpaksaan" dan juga karena ada unsur dorongan lingkungan yang "memaksa" mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun