Beberapa bulan terakhir ini, anak negeri ini yang tergolong ke dalan kelas (ekonomi) menengah menjadi topik perbincangan dan atau pembahasan berbagai pihak serta berbagai media.
Betapa tidak? Karena pasca pandemi memang tidak sedikit anak negeri ini yang mengalami penurunan pendapatan karena adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang sampai saat ini masih berlangsung, dan di kalangan pelaku bisnis tidak sedikit unit bisnis mereka stagnan bahkan colaps.
Turun Kelas.
Bila disimak, kelas menengah ini, beberapa tahun ini sudah berada dalam kondisi "makan tabungan" dan menekan pengeluaran konsumsinya. Sehingga, tidak heran kalau tidak sedikit di kalangan mereka yang sudah turun status, dari kelas menengah menjadi kelas bawah bahkan ada yang sudah masuk ke dalam kelompok nyaris miskin, miskin, dan miskin ekstrem.
Bila dicermati, ada dua pandangan terhadap mereka. Ada pihak yang mewanti-wanti agar kelas menengah ini dengan terus mengangkatnya ke permukaan, dan ada pihak yang memandang bahwa persoalan kelas menengah ini biasa-biasa saja bahkan seakan menafikan berita atau informasi yang sedang berkembang.
CNBC Indonesia 02 Agustus 2024, dalam program Investime-nya mengupas kelompok kelas menengah di negeri ini turun dalam satu dekakde terakhir. Data enam bulan terakhir menunjukkan daya beli kelompok menengah dan kelas menengah bawah terus tergerus.
Agnes Theodora dalam Kompas.id juga menyitir bahwa status ekonomi kelas menengah yang tanggung, alias tidak miskisn tetapi tidak kaya, membuat mereka nyaris terabaikan dan rentan kembali jatuh miskin. Pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan kelompok ini akan ekonomi yang lebih berkualitas sebelum keresahan sosial memuncak. (Kompas.id, 8 Desember 2023)
Berdasarkan infromasi BPS bahwa data Susenas 2021 saja jumlah kelas menengah atas sebanyak 22,14 persen dan menegah bawah sebanyak 69,05 persen. Jumlah ini terus merosot, karena mereka turun kelas.
Jumlah kelas menengah di negeri ini terus merosot, akibat tekanan kenaikan harga dan turunnya pendapatan. Prof. Wasiaturrahma Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universtas Airlangga (Unair) mengatakan jumlah kelas menengah di negeri ini memang terus merosot. Berdasarkan data Bank Dunia jumlah kelas menengah pada tahun 2018 sebesar 23 persen dari jumlah penduduk, tahun 2019 menjadi 21 persen dan pada tahun 2023 anjlok menjadi 17 persen (Suarasurabaya.net, 30 Juli 2024).
Menurut saya persoalan yang menerpa kelas menengah ini hendaknya menjadi perhatian serius, terutama di pihak yang berwenang. Perilaku dalam berkonsumsi yang senantiasa tergerus tersebut dan kondisi ekonomi secara keseluruhan mereka saat ini perlu disikapi secara proporsional dan bijak.
Jangan Diabaikan!
Seperti yang saya sampaikan di atas, bahwa dalam menyikapi persoalan kelas menengah dan kelas menengah bawah ini, ada dua pandangan. Ada pihak yang memang mengkhawatirkan atas kondisi ekonomi yang dialami kelas menengah dan kelas menengah bawah ini dan ada pihak yang sepertinya "menganggap" persoalan yang satu ini biasa-biasa saja bahkan mereka justru "mengcounter" berita tentang kesulitan kelas menengah dan kelas menengah bawah ini.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), seakan masih meragukan kesulitan ekonomi kelas menengah ini dan masih meragukan bahwa kelas menengah ini turun kelas menjadi miskin. CNBC Indonesia , 30 juli 2024, mengangkat topik: "Bappenas Pasang 'Radar Baru' Mencari Kelas Menengah yang Jatuh Miskin".Â
Disitir bahwa Ketua Bappenas Suharso Monoarfa meragukan banyak kelas menengah di negeri ini yang jatuh ke kelas bawah. Menurutnya kelas menengah tidak jatuh miskin, mereka hanya bermigrasi ke sektor pekerjaan informal yang berbasis digital dan lintas negara.
Bila dicermati, pernyataan Ketua Bappenas ini, sepintas memang ada benar nya, jika di kalangan kelas menengah ini beralih ke sektor informal. Namun, perlu didalami lagi, mengapa mereka beralih ke sektor informal?
Bila ditelusuri pasca pandemi memang tidak bisa dinafikan bahwa kalangan kelas menengah yang kena PHK, yang tidak melakukan unit bisnis lagi, dan atau yang tidak mempunyai sumber pendapatan lagi, mereka "terpaksa" beralih ke sektor informal, yang penting "bertahan hidup". Apalagi sektor informal ini memang mudah dimasuki (free antry free exit), terlebih lagi sektor informal yang berorientasi "digital" yang makin marak sebagai dampak positif dari pandemi beberapa tahun yang lalu.
Namun, kondisi ini tidak sepenuhnya dapat membuat mereka bisa bertahan dan atau dapat mempertahankan "kelas"nya, bahkan belum dapat naik kelas menjadi kelas menengah atas. Bahkan ada yang yang justru sebelumnya mereka tergolong kelas menengah turun menjadi kelas bawah, karena bisnis di sektor informal juga berfluktasi, permintaan (daya beli) sedang turun dan kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja.
Bila kita mau jujur, mungkin kita sendiri pun merasakan kondisi yang dialami kebanyakan kelas menengah ini, terlebih kelas menengah bawah di negeri ini. Di lapangan kita bisa menyaksikan "pasar sepi", dan "mal hening", calon konsumen pergi ke Mal hanya untuk tujuan rekreasi, ke Mal hanya keliling-keliling Mal saja tidak mebeli. Kondisi ini diindikasikan oleh arena parkir yang tidak terlalu padat seperti sebelum tibanya pandemi.
Pelaku bisnis tidak sedikit yang "menggerutu" menyikapi pasar sepi tersebut. Dari kalangan pekaku bisnis, bila ditanya, bagaimana dengan omzet mereka, kebanyakan mereka menjawab "mengalami penurunan" dibandingkan dengan sebelum pandemi atau pada saat perekonomian sedang "moncer-moncer-nya". Pada saat menjelang lebaran tahun ini saja omzet mereka turun sekitar 30-50 persen dibandingkan pada tahun-tahun sebelumnya.
Untuk itu sudah selayaknya kalau kelas menengah dan kelas menengah bawah ini menjadi perhatian kita semua, terlebih pihak yang berwenang. Upaya kita untuk mempertahankan agar mereka tetap bertahan pada kelasnya, jangan sampai turun menjadi kelas menengah bawah atau kelas bawah atau menjadi miskin tersebut menjadi penting. Bagi kelas memengah harus dipertahankan tetap berada pada kelas menengah kalaupun belum bisa naik kelas menjadi kalangan kelas menengah atas.
Konsumsi mereka yang tergerus karena turunnya pendapatan, akibat turunnya aktivitas ekonomi atau naiknya harga-harga selama ini harus dibangkitkan kembali dengan jalan menggairahkan perekonomian dan berupaya sekuat tenaga untuk menekan harga.
Sering kali saya sampaikan bahwa pengeluaran negara harus diarahkan pada peningkatan pendapatan masyarakat, agar pendapatan kelas menengah ini bisa bertahan bahkan bisa meningkat. Invesatsi yang dilakukan, baik investasi dari luar maupun dari dalam negeri sendiri harus diarahkan pada penciptaan lapangan kerja, dengan kata lain investasi harus diarahkan pada invesatsi padat karya.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya lagi adalah meninjau kembali pemberian bantuan soail oleh pemerontah dan pelaku bisnis selain BUMN, misalnya program Corporate Social Responsibility (CSR) dan kegiatan filantropi bagi kalangan kelas atas yang mempunyai rezeki yang lebih.
Terakhir, tidak ada salah kalau kita menekan pengeluaran negeri ini, terutama pengeluaran yang sangat bombastis, seperti pengeluaran pemilu, pemilu kepala daerah, agar anggaran tersebut bisa dialokasikan untuk kepentingan menggerakkan perekonomian negeri ini. Selamat Berjuang!!!!!
Oleh Amidi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H