Untuk menggalakkan makanan tradisional ini, perlu komitmen kita semua, perlu kesadaran kita semua, perlu "mengikis" aspek gengsi kita semua. Biasanya dikalangan anak negeri ini lebih bergengsi bila mereka makan "makanan siap saji", mereka tahan antri berjam-jam pada saat membeli makanan tersebut. Untuk itu, jika kita mau back to basic, kita harus "mengikis" kebiasaan dan rasa gengsi kita.
Bila kita sandingkan penjual gado-gado dengan penjual ayam goreng (fried chicken) di Mal atau di Kaki Lima, maka sudah dapat dipastikan konsumen akan berbondong-bondong menyerbu ayam goreng , ketimbang gado-gado. Inilah fakta yang ada dan inilah dinamikan yang berkembang dibelantika anak negeri ini.
Â
Perlu Merubah Kebiasaan.
Untuk back to basic, memang tidak semudah membalik telapak tangan, tidak semuda apa yang kita banyangkan, perlu perjuangan yang tidak ringan, perlu komitmen yang tinggi, perlu penyadaran yang maksimal.
Menurut saya, kita perlu merubah kebiasaan yang selama ini "terpatri" dalam diri kita. Istilah "Aku Anak Keju,Engkau Anak Singkong" mungkin perlu ditiadakan, diganti dengan "Aku Anak Indonesia dan Cinta Indonesia". Saya tidak bisa membayangkan, jika disebagian besar anak negeri ini sudah merubah "minset" --nya, kembali back to basic tersebut.
Dengan demikian, maka tindakan kita merubah kebiasaan mengedepankan makanan sehat, makanan tradisonal, makanan alami tersebut, juga akan mendorong pelaku bisnis akan memberhentikan penggunaan bahan berbahaya bagi kesehatan konsumen dan akan berupaya menjual makanan tradisonal, makanan sehat dan makanan alami.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya adalah, bagaimana kedepan ini pelaku bisnis harus dan harus juga back to basic, harus dapat menjunjung tinggi etika bisnis dan harus dapat memposisikan konsumen sebagai raja serta memposisikan konsumen  bagian intergral kemajuan dan perkembangan unit bisnis kita. Artinya konsumen jangan hanya dijadikan objek semata, tetapi konsumen juga harus diposisikan sebagai subjek. Selamat Berjuang!!!!!!