Oleh Amidi
Dana asing kabur dari negeri ini, sebenarnya merupakan lagu lama mengalun kembali, satu bulan terakhir ini media berloma-lomba menyuguhkan beritanya, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, harus disikapi dengan bijak untuk menahannya agar tidak mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Kita tidak boleh membiarkan negeri ini sudah jatuh tertimpa tangga, sumber daya alam (SDA) yang sudah terkuras, tidak boleh diperparah oleh terus terdepaknya tenaga lokal, karena tenaga asing berbondong-bondong masuk, setelah memperoleh dana (cuan), justru mereka beramai-ramai melarikan-nya.
Dikatakan oleh Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryaono bahwa jumlah aliran uang yang keluar dari pasar keuangan Indonesia mencapai Rp23,34 triliun berdasarkan transaksi tahun 2024 sampai 14 Maret. (detikfinance.com, 15 Maret 2024)
Kemudian jauh sebelumnya Bapak Prabowo pada saat pidato di Universitas Kebangsaan Republik Indonesia di Bandung beberapa waktu lalu mengatakan bahwa dana milik masyarakat mengalir ke luar negeri adalah kenyataan, sehingga terjadi kebocoran dua pertiga kekayaan nasional mengalir ke luar negeri. (kumparan.com, 8 Maret 2019)
Mengapa Kabur?
Bila dirunut, banyak faktor yang menyebabkan dana asing kabur, baik faktor ekonomi maupun non ekonomi (politik).
Mereka melarikan dana (capital flight) atau adanya arus dana keluar (capital outflow), karena mereka ingin memperoleh keuntungan dari dana yang dimilikinya. Misalnya mereka melakukan aksi jual (menyimpan dana di bank asing) untuk mendapatkan penghasilan dari bunga bank.
Hal ini sudah sering terjadi, misalnya begitu Bank Sentral Amerika Serikat , Federal Reserve, berencana menaikkan suku bunga, mereka mulai mengambil ancang-ancang untuk melakukan aksi jual.
Begitu juga dengan kondisi ekonomi suatu negara, apabila suatu negara menunjukkan kondisi ekonomi yang moncer, maka pihak asing di negeri ini selaku penyandang dana, mulai melirik negara tersebut untuk melarikan dana yang dimilikinya ke negara tersebut.
Kemudian, bisa juga adanya keinginan menghindar pajak. Bukan rahasia umum lagi, jika mereka melarikan uangnya ke luar negeri (capital flight), karena mereka ingin menghindar dari pajak.
Tidak hanya itu, uang hasil korupsi pun, terkadang oleh koruptor dilarikan ke luar negeri, untuk menghilangkan jejak dan menghindar dari pajak. (lihat Amidi dalam Kompas.com, 19 Maret 2024).
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun menyatakan dana masyarakat senilai Rp1.5 triliun di Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya dilarikan ke luar negeri, pada negera dengan surga pajak seperti Singapura dan negera-negara Eropa. (Kontan.co.id, 15 Pebruari 2023)
Selain itu, kondisi ketidakpastian pasar (market uncertainty), terutama pasar uang, baik regional maupun global, maka mereka lebih memilih melarikan dana-nya ke luar negeri untuk mengamankan dana-nya tersebut.
Seperti yang disampaikan Gubernur BI bahwa dana asing keluar dari RI karena ketidakpastian pasar keuangan global masih tinggi, yang tercermin pada yield US Treasury yang meningkat sejalan dengan premi resiko jangka panjang dan inflasi yang masih di atas perkiraan pasar. (cnbcIndonesia.com, 20 Maret 2024).
Kondisi ini diakui sendiri oleh Presiden Joko Widodo, fenomena kenaikan suku bunga yang tinggi dalam waktu lama atau higher for longer yang terjadi di Amerika Serikat memicu arus modal kabur dari RI. Capital outflow semua lari ke Amerika Serikat. (cnbcnIndonesia.com, 27 Oktober 2023).
Bila dicermarti, memang iming-iming kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat tersebut cukup signifikan mendorong dana asing kabur atau dilarikan ke sana, namun, sebenarnya masih tergantung juga dengan petinggi negeri ini untuk menyikapinya.
Artinya, apabila tercipta kondisi perekonomian, kondisi pasar dan atau kondisi negeri ini secara umum kondusif, maka bisa saja dana asing yang ada sebagai hasil perolehan bagi hasil pengelolaan SDA yang dimiliki negeri ini atau perolehan dari unit bisnis yang dilakoninya di negeri ini, mereka tahan, tidak mereka alihkan ke luar negeri.
Apabila kondisi perekonomian yang menjanjikan dan atau kondisi negeri ini secara umum kondusif tidak bisa kita ciptakan, ditambah lagi adanya gonjang-ganjing politik, maka jelas akan mempengaruhi perilaku mereka dalam memegang dana.
Wajar, kalau mereka memprediksi jika akan terjadi gangguan kondisi perekonomian akibat kondisi politik yang tidak menentu, maka dengan serta merta mereka mulai mengambil langkah untuk mengamankan dana dan atau aset mereka, tak ayal lagi akan terjadi capital flight.
Bisnis.com, 26 Maret 2024, memberitakan bahwa BI mencatat terjadi aliran modal asing keluar Rp1,36 triliun dari pasar keuangan domestik ditengah bergulirnya gugatan hasil hasil pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK).
Kemudian, pengalaman saat krisis moneter ,menjelma menjadi krisis ekonomi tahun 1988 lalu, Capital flight terjadi secara besar-besaran, menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok sampai pada titik nadir terendah, sampai mencapai Rp16.000,- an per dolar AS, karena dana-dana asing dan dana-dana pelaku bisnis besar dinegeri ini dilarikan ke laur negeri.
Untung pada saat itu, Presiden antar waktu (BJ Habibie) bersama menteri-nya sigap dan berhasil mengangkat kembali nilai tukar rupiah dari angka Rp16.000,- menjadi Rp6.500,- (lihat cnbcIndonesia.com, 06 Agustus 2022).
Kedepankan Komitmen.
Dalam menyikapi persoalan yang satu ini, semua komponen, terutama petinggi negeri ini, termasuk DPR harus mengedepankan komitmen, harus benar-benar peduli dengan kondisi yang ada.
Pertumbuhan ekonomi negeri ini pada masa kejayaan (masa orde baru) pernah mencapai 7 persen lebih per tahun tersebut, mengapa tidak bisa kita raih kembali. Kini negeri ini hanya dapat mencapai pertumbuhan ekonomi berkisar di angka 5 persen-an saja, itu pun harus diperjuangkan sekuat tenaga.
Padahal, dengan menilik SDA yang dimiliki negeri ini, rasanya pertumbuhan ekonomi yang menggembirakan pada masa itu yang dipuji berbagai negara dan mencengangkan negara maju tersebut, bisa saja kita raih atau capai kembali.
Kini bukan saatnya lagi ada pihak berdalih bahwa kita belum mampu menyediakan teknologi tinggi, sumber daya manusia (SDM) handal dan dana besar, sehingga SDA strategis di negeri ini dominan masih dikelola/dikuasai mereka.
Kini SDM negeri ini sudah banyak yang mumpuni, teknologi tinggi sudah bisa disediakan dan kebutuhan dana sudah bisa di atasi, hanya tinggal "komitmen" yang harus dikedepankan. Sudah saatnya  SDA strategis yang dimiliki negeri ini dimaksimalkan.Â
Jika dalam mengoptimalkan SDA strategis tersebut masih ada kendala, bisa saja kontrak kerja sama dengan pihak asing yang sudah dijalankan tersebut ditinjau ulang, dan atau diperbaharui, dengan memperbesar porsi bagi hasil.
Dari pada negeri ini berorientasi pada penggunaan dana termasuk dana dari sumber utang untuk pembangunan yang tidak produktif atau pembangunan yang tidak instan memberikan hasil maksimal.
Mengapa tidak, kalau petinggi negeri ini mengalokasikannya untuk pendanaan pengelolaan SDA strategis yang dimiliki demi mengoptimalkan hasil yang akan diperoleh dan dapat memberdayakan anak negeri ini yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan mereka.
Pemerintahan baru nanti, sebaiknya mulailah mengevaluasi kembali, perjanjian kontrak kerja sama dengan pihak asing yang sudah dialkukan selama ini. Kita tidak ingin mereka  membuka usaha di negeri ini, begitu ketiban masalah, mereka secepatnya mengambil jalan pintas, melarikan aset atau dana dan kabur dari negeri ini. Selamat Berjuang!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H