Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ternyata Tradisi Bisa Mengalahkan Rasionalitas Ekonomi!

17 Mei 2024   07:59 Diperbarui: 17 Mei 2024   08:06 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh Amidi

 

Idealnyaa konsumen membeli suatu produk dan atau memenuhi berbagai kebutuhannya dilandasi dengan pertimbangan ekonomi, dan atau  rasionalitas ekonomi. Namun, kenyataannya, konsumen membeli suatu produk dan atau memenuhi berbagai kebutuhannya justru didorong oleh faktor psikologis yang diperkuat  faktor tradisi.


Misalnya pada bulan Ramadhan, konsumen berbelanja "terlihat kental" karena dorongan faktor psikologis  yang diperkuat faktor  tradisi.  Fenomena emak-emak "menyerbu" pasar  terus berlanjut  sampai menjelang lebaran,    tidak dapat dijelaskan  dengan menggunakan pendekatan faktor ekonomi semata,  karena  faktor psikologis yang diperkuat faktor tradisi lebih menonjol.

 

Idealnya,  konsumen berbelanja apabila mereka benar-benar mempunyai pendapatan saat ini. Namun, kebiasaan berbelanja sepanjang bulan Ramadhan sampai menjelang lebaran  tidak demikian, konsumen didorong oleh faktor  psikologis yang diperkuat faktor tradisi sangat kental. Jika tidak berbelanja berlebihan ada yang terasa kurang. Uniknya lagi, jika kebiasaan berbelanja tersebut tidak dilakukan, ada semacam beban moril ,terhadap diri dan lingkungannya serta ada rasa tidak menjaga tradisi yang sudah turun temurun (lihat Amidi dalam Sriwijaya Post, 11 September 2007).

Faktor psikologis yang diperkuat faktor tardisi  tercermin dari  beberapa daerah  dalam menyambut lebaran  "harus" menyediakan makanan khas daerah mereka. Di negeri ini, ada banyak makanan khas lebaran yang disuguhkan kepada tamu dan kerabat   saat bersilaturrahmi pada  hari lebaran.  Salah satu televisi swasta pernah mensitir   beberapa makanan khas daerah yang akan disuguhkan kepada kerabat dan para tamu yang bersilaturrahmi; gulai nagka dari medan, bebek gulai kurma dari Aceh, rendang dari Padang, ayam bumbu anam dari Palembang, lemang dari jambi,  semur daging dari Jakarta,  soto banjar dari Banjarmasin, ayam Gagape dari Makasar,   dan ayam woku dari Manado. (Liputan6.com, 15 Mei 2021).


Tradisi dalam Ritual Keagamaan.

Tidak hanya fenomena itu saja, masih ada lagi fenomena lain yang menggambarkan bahwa konsumen membeli suatu produk dan atau memenuhi berbagai kebutuhannya lebih menonjolkan faktor psikolgis diperkuat faktor tradisi tersebut, termasuk dalam ritual keagamaan.

Pada saat ini, ada sebagian besar  masyarakat yang tidak bisa mengikis tradisi yang sudah melekat pada pelaksanaan ritual keagamaan. Sehingga antara kegiatan ritual keagmaan dengan tradisi sudah tidak jelas lagi. Misalnya pada saat ada anggota keluarga "meninggal dunia", mereka harus menggelar  suatu ritual keagamaan yang menurut mereka tidak bisa ditinggalkan. Ada istilah satu hari, dua hari, tiga hari, ada tujuh hari, ada istilah memperingati 40 hari dan seterusnya atas meninggalnya si pulan dan seterusnya.

Biasanya, ritual keagamaan yang sudah  mejadi tradisi tersebut, tidak hanya menguras tenaga tetapi akan membutuhkan cuan/uang untuk menyertai ritual keagamaan tersebut. Misalnya setelah mereka selesai melaksanakan ritual keagamaan tersebut, ada makan-makan-nya atau makan-minum nya. Nah, barang tentu mereka yang mempunyai hajatan akan mengeluarkan uang untuk menyediakan makan-makan dan atau makan-minum tersebut.

Terlepas dari mereka yang akan menggelar hajatan tersebut mempunyai uang atau tidak, karena sudah tradisi, maka mereka harus penuhi. Jelas, disini faktor ekonomi atau rasionalitas ekonomi terabaikan, yang menonjol adalah tradisi.

Memang dalam agama dibenarkan untuk menggelar ritual keagamaan sebatas yang wajar, sebagai penghibur atau mengurangi "kesedihan" mereka yang medapatkan musibah, misalnya ritual keagamaan digelar dengan menyajikan nasihat-nasihat (ceramah) tanpa dilengkapi dengan makan-minum dan biasanya hanya dilaksanakan satu sampai tiga hari saja.

Ritual keagamaan seperti ini sudah dilakasanakan oleh suatu organisasi keagamaan, dan sudah banyak diikuti oleh yang lain, yang mencoba mendalami pemahamannya. Namun, ritual keagamaan yang menonjolkan tradisi tersebut, dilapangan  masih banyak sekali yang melaksanakannya.

Kemudian, pada saat ini suatu tradisi yang juga sudah kental dilaksanakan oleh umat yang akan menjalan ibadah ke tanah suci, melaksanakan acara semacam "sedekah" atau ada yang menyebutnya acara pamitan sesama handai tolan, ada yang menyebutnya acara syukuran, ada yang menyebutnya dengan sebutan lain sesuai dengan tradisi yang berlaku dikalangan mereka.

Memang pihak yang berkompeten  berpendapat acara yang demikian boleh-boleh saja, tidak ada masalah, karena bukan  sebuah ritual yang meng-ada-ada. Ada juga pihak yang berkompeten lainnya, berpendapat bukan para undangan yang akan mendoakan mereka yang akan menjalankan ibadah ke tanah suci tersebut, namun mereka yang akan pergi ke tanah suci tersebutlah yang harus mendoakan tetangga, sahabat, kerabat dan handai tolan agar mereka juga dapat melaksanakan ibadah ke tanah suci tersebut.

Menurut hemat saya memang acara yang demikian sah-sah saja, namun jangan sampai memberikan efek negatif, misalnya timbul riak, timbul kesombongan dan lainnya. Semoga saja tidak demikian adanya!.

Terlepas dari itu semua, yang jelas semua ritual keagamaan yang kita laksanakan, apapun agama-nya, apa pun bentuk ritual keagamaan-nya, harus dilandasi ilmu dan pengetahuan agama yang benar dan sedapat mungkin ritual keagamaan yang kita laksanakan tersebut membuahkan kebaikan, bukan sebaliknya justru mendatangkan "kemudhoratan" atau "keburukan".

Kedepankan faktor Ekonomi dan Ilmu.

Sebenarnya tidak hanya itu saja, ritual keagamaan yang dikaburkan oleh tradisi, masih ada yang lain-nya, ini bisa kita saksikan sendiri perkembangannya dilapangan, yang dilakukan oleh sebagian dan atau berbagai kalangan  masyarakat kita.

Dari ritual keagamaan yang kita jalankan tersebut, mungkin tidak berlebihan kalau kita juga mempertimbangkan faktor ekonomi atau faktor rasionalitas ekonomi, agar secara ekonomi kebutuhan, kegiatan dan aktivitas ritual keagamaan yang kita laksnaakan tersebut tidak membeni dan senantiasa bernilai kebaikan atau pahala.

Misalnya, dengan memenuhi faktor tradisi, sehingga  ritual keagamaan tersebut, justru berubah menjadi "ritual tradisi", ini yang perlu dihindari. Sehingga untuk memenuhi tradisi tersebut, kita harus meminjam uang atau utang sana sini. Dengan demikian, berarti tradisi tersebut justru membebani kita sendiri.

Bukan hanya membebani saja, tetapi harapan kita untuk mendapatkan "kebaikan" tersebut terkadang justru berbalik menjadi "keburukan". Nah ini, yang perlu dipertimbangkan dengan matang.


Dengan demikian, dalam hal tradisi yang harus kita junjung tinggi tersebut, sekali lagi harus mempertimbangkan aspek ekonomi atau rasionalitas ekonomi dan aspek keilmuan. Jika tidak memungkinkan secara ekonomi dan tidak ada tuntutannnya, maka sebaiknya ditunda dan atau dialihkan kepada ritual keagamaan yang yang memang benar-benar ada tuntutnan-nya dan memang benar-benar harus dijalankan, agar "kulaitas" atau "nilai" ritual keagamaan yang kita jalankan senantiasa baik dan meningkat. Semoga!!!!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun