oleh Amidi
...................................Dinamika  yang berkembang akhir-akhir ini, menyita tenaga, pikiran dan perhatian  banyak pihak. Untuk  mencermati dinamika tersebut, saya sajikan dalam tulisan ini. Namun, saya mohon maaf, kalau narasi dalam tulisan ini  membutuhkan pemahaman lebih bagi yang membacanya......................
      Publik sudah paham jika para pelaku bisnis merupakan salah satu sosok yang senantiasa berorientasi pada "keuntungan", sesuai dengan salah satu tujuan dilakukannya bisnis itu sendiri.
      Dalam menjual produk-nya,  pelaku bisnis harus menjunjung tinggi etika bisnis yang berlaku, tidak boleh curang, tidak boleh membohongi/membodohi konsumen, tidak boleh membahayakan konsumen, tidak boleh mengorbankan kesehatan konsumen dan tindakan yang merugikan konsumen lainnya.
Namun, dalam kenyataannya,  masih ada saja pelaku bisnis yang melakukan hal-hal yang melanggar etika bisnis tersebut. Bila dicermati,  tindakan pelaku bisnis yang demikian, sudah keluar dari "koridor"-nya, tujuan memperoleh keuntungan yang sebesar-besar-nya tanpa menghiraukan aspek kemanusiaan dan atau tanpa menghiraukan aspek  ke-rohani-an,  sepertinya mereka junjung tinggi.
Dinamikan "Pasar Lima Tahunan"
Fenomena di atas tidak hanya bercokol dalam jiwa pelaku bisnis pada umunya, tetapi  bercokol pula pada lembaga publik atau  pelaku/komponen  "pasar lima tahunan".
Dalam "pasar lima tahunan", terkadang pelaku pasar, walaupun hanya ada beberapa pelaku (pasangan), ada saja yang melakukan hal yang tidak diinginkan tersebut. Sudah tahu jika produk tersebut kadaluarsa (expired), sudah tahu jika produk tersebut akan merusak kesehatan, sudah tahu jika produk tersebut diproses dengan mesin yang kotor alias diproses dengan jalan tidak selayaknya, Â masih saja produk tersebut ditawarkan/dijual.
Aneh nya lagi, dalam perjalanannya, Â calon konsumen yang akan membeli produk yang dijual pada "pasar lima tahunan" tersebut justru berlomba-lomba membeli produk tersebut. Bahkan ada "indikasi" konsumen yang membeli produk tersebut tersebut adalah konsumen dari berbagai segmen atau kelompok yang paham dengan dampak yang ditumbulkan oleh produk tersebut.
 Bila disimak dari aspek pendidikan, ada indikasi, bahwa ada juga  konsumen yang membeli-nya dari golongan  berpendidikan tinggi. Bila disimak dari aspek rasional/irrasional,  ada indikasi, bahwa dominan  konsuemn yang membeli-nya justru kebanyakan dari golongan yang  "irrasional". Bila dilihat dari aspek profesi, ada indikasi bahwa ada  juga konsumen yang membeli-nya dari golongan profesi yang bergengsi, dan seterusnya, terlepas ada tidaknya unsur invisble hand dibelakangnya.
Mengapa Demikian?
Fenomena yang berkembang dalam mempersiapkan produk yang akan ditawarkan pada  "pasar lima tahunan" tersebut, terdapat  "indikasi" bahwa  pihak yang akan menjual produk tersebut , sudah tahu kalau produk tersebut  belum layak/tidak layak  untuk dijual, namun  pihak yang akan menjualnya memaksakan diri untuk tetap memproduksi  dan menjual produk tersebut, terlepas dalam proses produksi untuk menjual produk tersebut  mengorbankan instrumen "pasar".
Dalam kenyataannya, sekali lagi bahwa produk tersebut justru digandrungi konsumen.  Malahan produk tersebut di eluh-eluh-kan konsumen, di sanjung konsumen, bahkan oleh  tim yang akan memproduksi dan menjual-nya dilakukan promosi yang sangat gencar.
Fenomena di atas menggelitik dan mendorong untuk dikaji lebih mendalam. Â Muncul suatu pertanyaan, mengapa produk tersebut, sepertinya laris manis di "pasar lima tahunan" tersebut. Apa yang mendorong konsumen berlomba-lomba membeli produk tersebut?
Bila dicermati, sebetulnya banyak faktor yang mendorong konsumen berlomba-lomba membeli produk tersebut. Namun, yang paling menonjol adalah dorongan ingin meraub "cuan" sebanyak-banyak-nya. Segala segmen yang membeli produk tersebut, berlomba-lomba untuk memperoleh cuan, hanya tingkatannya yang berbeda, ada yang hanya sekedar untuk memperoleh "cuan recehan", ada yang memperoleh cuan dari hasil mengeluarkan  cuan (modal cuan untuk memperoleh cuan), ada yang memperoleh cuan dengan mengharapkan kedudukan/mendapatkan produk turunan-nya dari produk tersebut,  ada yang memperoleh cuan untuk  institusi/lembaga yang dipimpinan-nya, dan seterusnya.
Demi meraub cuan sebanyak-banyak-nya tersebut, konsumen dan pihak lain yang ikut membelinya, rela mengorbankan produk rohani yang melekat pada diri-nya. Dengan kata lain, konsumen rela mengorbankan produk rohani yang dimilikinya demi sekedar untuk membeli produk tersebut.
Anehnya lagi,  ada indikasi bahwa konsumen yang  seharusnya menjunjung tinggi keadilan, menjunjung tinggi kebenaran,  menjunjung tinggi  kejujuran, bahkan mayoritas konsumen yang seharusnya dalam membeli produk tersebut senantiasa mempertimbangkan unsur  "kebaikan dan  keburukan/kemunkaran"  yang sudah menjadi slogan-nya, justru ikut-ikutan membeli produk yang demikian.
Produk rohani yang kita korbankan untuk membeli produk  tersebut, secara sederhana dapat diartikan  suatu produk yang diproses melalui unsur kejiwaan dengan membuahkan suatu keyakinan tertentu,  merupakan produk tidak nyata (intangible product) yang melekat pada pemilik jiwa.  Kalau boleh saya terjemahan secara bebas,  produk rohani merupakan harga diri, integritas, nilai kemanusiaan dan termasuklah aqidah.
Produk rohani ini bagaikan  jasa yang ditawarkan pelaku bisnis pada umumnya, ia ada,  tetapi tidak bisa dilihat, tidak bisa diraba/dipegang dan atau tidak berwujud seperti barang pada umumnya.
Bagaimana Sebaiknya?
Bila anak negeri ini mau konsisten, dan tidak akan berpolemik, sebenarnya, sederhana saja, biarkan saja lembaga publik atau pelaku/komponan  "pasar lima tahunan" tersebut menawarkan produk tersebut, lakukan saja permintaan atau beli  saja produk yang ditawarkan dalam "pasar lima tahunan" tersebut yang sesuai dengan 'hati nurani" atau sesuai dengan apa yang dibutuhkan, jangan terpengaruh dengan unsur "keinginan" konsumen yang lain atau invisible hand yang akan menggoda dan "mendekte".
Sebenarnya, bila produk (produk/pilihan lain yang tersedia) yang benar-benar dibutuhkan tersebut dibeli konsumen, pada saatnya konsumen juga akan memperoleh cuan yang  halal/bersih, yang nilainya  lebih besar lagi dari cuan yang diperoleh dengan membeli produk tersebut.
Mengapa demikian?, karena dengan membeli produk (produk/pilihan/pasangan  yang lain yang tersedia) yang benar-benar dibutuhkan tersebut, akan berdampak pada pengoptimalan potensi yang dimiliki negeri ini, yang pada akhirnya potensi tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk-produk yang akan menciptakan nilai tambah (value added) yang sangat besar, yang pada akhirnya akan mewujudkan "kesejahteraan" yang didambakan anak negeri ini.
Bila produk tersebut  sudah terlanjur dibeli, dan produk tersebut pada saatnya dinyatakan sah oleh komponen  "pasar" yang ditunjuk sebagai penyelenggara "pasar lima tahunan", maka masih ada kesempatan untuk mewujudkan "kesejahteraan" tersebut, dengan jalan mendorong "produk tersebut" atau produk yang dinyatakan sah oleh lembaga penyelenggara "pasar lima tahunan" tersebut untuk  bertanggung jawab atas  produk/ program yang ditawarkannya dalam aktivtas promosi-nya mulai dari awal sampai akhir masa promosi/kampanye. Layanan purna jual mutlak harus ditagih, dan produk/program-nya  harus dikawal.
Selamat berjuang, semoga negeri ini ke depan senantiasa menyajikan produk yang terbaik untuk di jual pada "pasar lima tahunan" tersebut, sehingga membuat konsumen "bingung"  untuk menentukan keputusan membeli-nya, karena  beberapa produk yang ditawarkan tersebut berkualitas, jujur dan cerdas semua. Semoga!!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H