Namun, karena sebagian besar konsumen (pemilih) berpendikan SMA ke bawah, berdasarkan data ada 30 persen lebih (lihat databoks, 27 November 2023), maka produk gratis yang ditawarkan oleh calon, sangat diminati dan mereka berusaha untuk memperolehnya.
Faktor lainnya adalah sikap mental. Bila ditelusuri, faktor yang satu ini juga mendorong anak negeri ini menyukai produk gratis tersebut.
Jangankan produk gratis, subsidi untuk orang miskin pun terkadang mereka yang mampu, mau membeli/mendapatkan produk subsidi untuk orang miskin tersebut. Sehingga produk gratis dikalangan yang mampu pun masih laris manis, karena dorongan sikap mental yang kurang baik tersebut.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya dicermati adalah faktor "keberhasilan/kegagalan produk gratis" yang dijual oleh pendahulu sebelumnya atau calon yang sudah menang dengan menjual produk gratis tersebut.
Jika produk gratis yang ditawarkan calon yang menang/terpilih dalam persaingan antar calon tersebut, berhasil dilaksanakan selama priode atau masa ia menjabat, maka produk gratis yang akan dijual oleh calon yang lain pada periode berikutnya masih akan laku.
Namun, bila produk gratis yang dijual calon tersebut "gagal" alias banyak menimbulkan masalah, maka produk gratis tersebut tidak diminati lagi, alias produk gratis yang akan kita tawarkan kepada konsumen (pemilih) sudah tidak ampuh lagi.
Dinamika Produk Gratis.
Bila disimak, produk gratis yang dijual atau ditawarkan calon tidak semuanya berjalan mulus, alias tidak semuanya berhasil baik, ada yang bermasalah ada yang gagal.
Pengalaman pada suatu Provinsi di negeri ini, kepala daerah yang menang/terpilih yang menjual/menawarkan produk gratis tersebut di atas, pada saat produk gratis akan dilaksanakan ternyata mereka belum mempunyai konsep yang matang, yang penting produk gratis harus dilaksanakan/dijalankan.
Sembari mematangkan konsep dan mencari model pelaksanaan, ia menemukan pola yang dapat meringankan anggaran, yakni dengan jalan menerapkan "dana sharing" atau berbagi menanggung dana kepada kabupeten/kota yang ada di Provinsi tersebut. Sehingga, produk gratis terdebut berjalan.
Namun, dalam perjalanannya, ternyata menimbulkan masalah, karena kabupten/kota merasa berkeberatan dalam mengalokasikan anggaran sharing tersebut, sehingga untuk membayar kepada isntitusi (RS) yang melayani produk gratis tersebut mengalami hambatan alias "macet'.