Mohon tunggu...
Amidi
Amidi Mohon Tunggu... Dosen - bidang Ekonomi

Dosen dan Pengamat Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kenaikan Pajak Hiburan Tak Perlu Dihebohkan, Jika Mengacu Pada Langkah Menggenjot Pendapatan!

23 Januari 2024   15:27 Diperbarui: 1 Februari 2024   08:25 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

oleh Amidi

Beberapa hari yang lalu, dunia hiburan, dihebohkan oleh adanya rencana kenaikan pajak hiburan mencapai 40 persen lebih. Tidak hanya itu, pihak-pihak yang terkait lainnya selaku pelaku bisnis yang berhubungan dengan jasa hiburan tersebut mulai ketar-ketir, karena bisnis mereka akan terancam gulung tikar, jika rencana kenaikan pajak tersebut diberlakukan.

Tribun Bali.com, 14 Januari 2024, mensinyalir bahwa dengan akan dinaikkannya pajak hiburan sebesar 40 persen, pariwisata Bali akan berada diujung tanduk. Pemerintah baru saja menaikkan  pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) menjadi 40 persen dan maksimal di angka 75 persen. Dalam aturan tersebut , disebutkan  bahwa BPJT  untuk jasa hiburan berlaku pada diskotik, karaoke, kelab malam, bar dan mandi uap/spa.

Pada bagian lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan buka suara  soal kenaikan BPJT jasa hiburan sebesar 40-75 persen. Dia akan menunda pelaksanaan undang-undang tersebut setelah mengadakan pertemuan  dengan pihak-pihak terkait, termasuk Gubernur Bali. (detikfinance.com, 17 Januari 2024)

Terlepas dari itu semua, yang jelas rencana pemerintah akan menaikkan pajak hiburan tersebut, memang cukup beralsaan, karena pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai pembangunan dan untuk menutup defisit anggaran dan atau untuk membayar cicilan utang yang terus membengkak.

Untuk itu, sebenarnya adanya renacana kenaikan pajak hiburan tersebut, tidak perlu dihebohkan, karena ini merupakan salah satu konsekuensi kita ingin menggenjot penerimaan/pendapatan untuk membayar utang negara yang terus membengkak. Saat ini saja sudah mencapai Rp. 8 triliun belum lagi akan adanya tambahan beberapa waktu ke depan ini.

Suatu angka yang terbilang bombastis tersebut, maka utang luar negeri negeri ini patut menjadi perhatian kita semua.

Dari aspek ekonomi, memang utang dibutuhkan, untuk mempercepat proses pembangunan dan atau untuk memperbesar kapasitas pembangunan, namun tidak dengan cara terus menumpuk utang, tetapi utang harus dilakukan dengan tepat sasaran, tepat guna, paling tidak harus digunakan untuk hal-hal yang produktif.

Bila kita simak, secara sederhana, sumber penerimaan/pendapatan negeri ini, ternyata dominan dari utang luar negeri. Idealnya penerimaan/pendapatan  negeri ini pun harus kita usahakan dominan bersumber dari dalam negeri sendiri, yakni penerimaan pajak dan sederetan jenisnya dan pendapatan bukan pajak.

Ocbc.id, 02 agustus 2023, mengurai jenis sumber penerimaan/pendapatan negara yakni; pendapatan pajak yang terdiri dari pajak,  pendapatan PPH,  pendapatan cukai, pendapatan bea masuk dan keluar, pendapatan PBB, pendapatan pajak lainya, serta penerimaan/pendapatan bukan pajak meliputi;  pemanfaatan sumberdya alam, pendapatan kekayaan yang dipisahkan,   pendapatan Badan Layanan Umum (BLU),  Pengelolaan barang milik negara, dan pengelolaan dana.

Pajak Lebih gampang.

Dari beberapa sumber penerimaan/pendapatan negara tersebut, sepertinya memang pajak merupakan sumber penerimaan/pendapatan yang lebih gampang diusahakan. Dengan mengutak-atik kebijakan atau undang-undang, pemerintah bisa saja menaikkan tarif pajak beberapa kali dalam setahun.

Seperti yang akan terjadi sebentar lagi. Jika pemerintah tetap mempertahankan keianginannya untuk menaikkan tarif pajak hiburan, maka sebentar lagi tarif pajak hiburan tersebut akan naik dan akan memberatkan pelaku bisnis dan konsumen alias masyarakat sendiri.

Sumber penerimaan/pendapatan Aman.

Sebenarnya, bisa saja pemerintah, memilih menggenjot sumber penerimaan/pendapatan bukan pajak, sumber penerimaan/pendapatan lebih aman,  seperti  pemanfaatan sumberdaya alam dan atau menggenjot ekspor.

Namun sayang, penerimaan/pendapatan bukan pajak ini, sepertinya membutuhkan waktu yang tidak singkat, memebutuhkan keberanian yang kuat, membutuhkan komitmen dan konsistensi dari petinggi negeri ini serta membutuhkan "kesalehan sosial" yang tinggi-tinggi-tinggi.

Padahal negeri ini kaya akan sumberdaya alam, sampai ada bagian  lirik lagu, "tongkat kayu dan batu jadi tanaman", saking suburnya negeri ini, lebih lengkap lirik lagu yang penuh makna, dengan judul lagu-nya  "kolam susu" yang diciptakan  oleh Yok Koeswoyo dan dinyanyikan oleh grup musik Koes Plus yang pertama kali muncul di tahun 1973.

Jika menyimak lirik lagu tersebut, memang tak ada bandingnya kekayaan yang dimiliki oleh negeri ini, negeri yang tercinta dan tersayang ini. Tinggal kita yang harus memesra-i nya, jika kita ingin memanfaatkan sumberdaya alam dari kandungannya.

Saya tidak bisa membayangkan, betapa besarnya penerimaan/pendapatan negeri ini, jika sumberdaya alam-nya dimanfaatkan secara maksimal dan optimal. Semua ada disini, negeri ini memiliki kangungan minyak, batu bara, emas, nikel, dan lain-lain, luaaaaar biasa, bukan?

Sebaiknya Ditunda dan atau Ditiadkaan.

Jika, dicermati, gonjang ganjing disekitar akan adanya kenaikan tarif pajak hiburan tersebut, dan dengan mempertimbangkan kondisional perekonomian dan kondisional negeri ini yang akan menghadapi perhelatan demokrasi lima tahunan tersebut, maka menurut hemat saya, sebaiknya rencana kenaikan pajak hiburan tersebut sebaiknya ditunda dan atau ditiadakan.

Bukankah, anak negeri ini sudah dihadapkan pada kondisi yang serba kena, kedepan kena pajak penghasilan, ketengah kena pajak hiburan, kebelakang kena pajak kendaraan dan seterusnya.

Kita semua sepakat, kalau anak negeri ini, saat ini membutuhkan suatu kondisi yang kondusif, karena negeri ini sebentar lagi akan melaksanakan pemilu, yang akan memilih petinggi negeri ini selaku top manajemen negeri ini. Untuk itu, mohon dihindari suatu kondisi yang menciptakan "kekisruan" baik dikalangan pelaku bisnis, konsumen/pemakai termasuk anak negeri ini selaku konsumen secara keseluruhan.

Mari mulai berorientasi menggenjot untuk memperbesar penerimaan/pendapatan negara nelalui penerimaan/pendapatan bukan pajak tersebut, mari kita memanfaatkan dan mengoptimalkan sumberdaya alam yang kita miliki, mari kita usahakan sendiri dan nikamti sendiri sumberdaya alam yang kita miliki sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa ini.

Ini penting, selain kita harus berupaya mengembalikan sumberdaya alam kita yang tergerus oleh "invisble hand", juga merupakan langkah maju dan cerdas kita dalam mencumbui dan memesra-i sumberdaya alam yang kita miliki tersebut, sehingga kita semua menjadi better-off. Semoga!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun