Kondisi tersebut berlangsung cukup lama, namun setelah adanya suntikan dana dari pemerintah (BLBI), bank-bank yang "sakit" mulai bisa disehatkan, bank yang masih batuk-batuk alias kesulitan dana dilakukan penggabungan (merger), sehingga kondisi penbankan di negeri ini mulai berangsur-angsur pulih. Kepercayaan nasabah mulai tumbuh kembali.
Namun, beberapa tahun belakangan ini, kembali dunia perbankan dihadapkan pada "gangguan" kembali, yakni dengan adanya pandemi, yang menyebabkan pendapatan anak negeri ini, baik  selaku pelaku bisnis maupun selaku pekerja, mengalami penurunan pendapatan. Pelaku bisnis menghadapi kondisi pasar yang sepi menyebakan pendapatannya turun, pekerja tidak sedikit yang terkena PHK dan atau termasuklah adanya pengurangan komponen konpensasi yang dilakukan pelaku usaha tempat mereka bekerja.
Kondisi ini mempengaruhi perbankan, bank mulai kesulitan meraub dana dari nasabah yang akan memarkirkan/menyimpan dana-nya di bank, ditambah lagi nasabah yang lebih dominan menarik/mengambil simpanan-nya di bank. Sehingga pada saat itu juga, tidak heran kalau perbankan berlomba-lomba menaikkan suku bunga  simpanan dan melonggarkan suku bunga pinjaman, demi memburu nasabah, walaupun pihak bank harus menanggung resiko atas kebijakan yang mereka lakukan tersebut
Dengan demikian, tidak heran kalau saat ini ada bank yang tutup baik bank milik swasta nasional maupun bank milik swasta internasional, dan ke depan bukan tidak mungkin akan ada lagi bank yang tutup. Fenomena tutupnya suatu bank tersebut tak ubahnya tutupnya unit bisnis pada masa pandemi dan pasca pandemi, ditambah lagi dengan adanya digitalisasi dalam dunia perbankan.
Betapa tidak, dengan adanya digitalisasi dalam dunia perbankan, selain berdampak positif dalam pelalayan, juga memberi dampak negatif bagi dunia perbankan. Dalam jangka panjang akan ada pengurangan pegawai/karyawan yang tidak sedikit, akan adanya berbagai  modus operandi dalam bentuk pembobolan rekening nasabah yang akan berdampak pada menyusutnya kembali kepercayaan nasabah terhadap dunia perbankan.
Nasabah akan mulai menimbang-nimbang, mulai bertanaya-tanya. Apakah, jika saya memarkirkan/menyimpan dana saya di bank masih  aman?. Apakah dana yang saya simpan di bank nantinya masih bisa ditarik/diambil? dan berbagai pertanyaan lain yang akan menghantui perasaan nasabah.
Kondisi ini sangat memungkinkan kalau ke depan akan ada bank akan ditutup kembali dan atau akan ada bank yang colaps. Kondisi ini tidak hanya akan terjadi pada bank-bank kecil, tetapi bank yang sudah besar, dan bank yang dinyatakan sehat, bahkan sangat sehat serta perkasa pun akan menghadapi nasib yang sama, bila salah menyikapi kondisi tersebut.
Bank  Harus Sehat dan Perkasa.
Dengan demikian, maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa bank-bank di negeri ini tidak dalam baik-baik saja. Untuk itu tidak ada pilihan, bank harus benar-benar sehat dan perkasa. Dengan demikian, berarti bank harus berupaya memenuhi syarat kesehatan suatu bank.
Â
Bank mutlak harus meninggalkan cara-cara lama, pemilik dan atau pimpinan bank harus sedapat mungkin mencegah "moral hazard" yang sering terjadi dalam dunia perbankan, pemilik dan atau pimpinan bank harus dapat bertindak tegas terhadap orang dalam yang ikut memposisikan dirinya sebgai white collar worker dan pemilik/pimpinan bank harus dapat mengantisipasi dampak penerapan/penggunaan layanan digilatalisasi dalam dunia perbankan, jika bank akan terhindar dari penutupan atau jika bank tidak akan terancam colaps.