Oleh Amidi
Pada hari Sabtu dan Minggu  atau hari libur,  anak negeri ini tidak sedikit yang makan diluar rumah (direstoran), dibandingkan dengan hari-hari biasa.
Ada yang menarik untuk dicermati, bila kita makan di restoran/rumah makan besar/hotel, kita akan dikenakan service charge atau uang pelayanan  oleh pemilik restoran/rumah makan besar/hotel tempat kita makan tersebut. Pengenaan service charge tersebut, bukan baru-baru ini saja dkenakan, tetapi sudah berlangsung lama.
Pada saat kita mau membayar makanan yang sudah kita santap, di bill  atau kertas tagihan tersebut biasanya tertera service charge yang dikenakan oleh pemilik restoran/rumah makan besar/hotel dimana kita menyantap makanan tersebut.
Besarnya service charge yang dikenakan tersebut, tidak tanggung-tanggung, terkadang ada restoran/rumah makan besar/hotel yang menetapkannya dengan kisaran angka  10-20 persen dari total nilai makanan yang kita santap tersebut.
Bila kita cermati,  restoran/rumah makan besar/hotel  mengenakan service charge tersebut, bisa saja  untuk mengalihkan sebagian biaya pelayanan kepada  konsumen. Apakah konsumen  merasa berkeberatan dengan dikenakannya service charge tersebut? Ada "ya" ada yang "tidak"
Selama ini, service charge  itu tetap saja berjalan, dan lancar-lancar saja. Memang ada sebagian anak negeri ini yang mempermasalahkannya, namun tidak sampai menjadi "konpelik" yang berarti. Biasanya kosumen  paling-paling  "menggerutu", kok,  dikenakan service charge, kan memang sudah tugas pelayan untuk melayani kita.
Bila ditelusuri lebih jauh lagi, service charge tersebut memiliki beberapa tujuan, dalam pawoon.com, 24 Maret 2022, dijelaskan  setidaknya ada tiga tujuan mengapa service charge dibebankan kepada konsumen.Â
Pertama, service charge  tersebut diperuntukkan membantu restoran untuk  membayar gaji dan tunjangan karyawan yang memberikan layanan kepada pelanggan. Kedua, service charge  juga membantu  restoran untuk memperbaiki fasilitas dan membeli peralatan baru. Ketiga, service charge  juga membantu restoran dalam mengelola biaya operasional.
Besarnya service charge yang dipungut oleh restoran kepada konsumen di negeri ini rata-rata  berkisar 5 hingga 10 persen. Service charge ini harus dibayar, karena service charge  melekat pada bill tagihan kepada konsumen, sehingga jumlah ini harus dibayar terlepas Anda  puas atau tidak puas dengan pelayanan atau makanan yang mereka sajikan (mekari.com, 25 April 2023).
      Konsumen Maju Kena Mundur Kena.
Bila dicermati, anak negeri ini selaku konsumen yang makan di restoran/rumah makan besar /hotel, selain kita harus mengeluarkan  sejumlah uang untuk membayar makanan yang disantap, kita juga dikenakan pungutan service tax atau pajak restoran sebesar 10 persen, dan kita juga dikenakan service charge yang besarnya (katakanlah) sama dengan pajak  yakni 10 persen.Â
Dengan demikian, pada saat kita makan di restoran/rumah makan besar/hotel, setidaknya kita akan dikenakan pungutan secara total sebesar 20 persen dari total pembayaran yang akan kita lakukan.
Dengan demikian, berarti bila kita akan  makan di restoran/rumah makan besar/hotel, maka konsekuensinya kita mau dan harus menanggung beban pungutan berupa service charge dan service tax tersebut. Dimana saja anak negeri ini makan, maka kita akan menanggung beban yang diciptakan oleh restoran/rumah makan besar/hotel  tempat kita makan tersebut.
Dalam hal ini saya istilahkan, konsumen berada pada posisi maju kena mundur kena. Konsumen selaku bagian dari anak negeri ini, pada dasarnya sudah dikenakan pajak penghasilan pada saat ia memperoleh penghasilan baik yang diperolehnya dari bekerja selaku pegawai/karyawan maupun penghasilan yang diperolehnya dari melakoni unit bisnis tertentu.
Namun, pada bagian lain, anak negeri ini juga harus menanggung hal yang sama. Misalnya pada saat anak negeri ini makan di restoran/rumah makan besar/hotel, kita  akan dikenakan service tax atau pajak restoran dan termasuklah service charge tersebut. Begitu juga bila melakukan transaksi lainnya, anak negeri ini bisa saja akan dikenakan pajak langsung dan pajak tidak langsung.
Memang sebagai warga negara yang baik, anak negeri ini harus taat dengan ketentuan, seperti taat membayar pajak. Namun, yang menjadi persoalan itu adalah penghasilan anak negeri ini tidak semua-nya berada di atas rata-rata alias  tidak sedikit anak negeri ini yang pengahsilannya belum mencerminkan suatu kondisi/ukuran  "sejahtera",  bahkan terkadang  tidak sedikit, yang masih menerima penghasilan dibawah upah/gaji minimum, UMR/UMP/UMK.
Bagi anak negeri ini yang penghasilannya belum mencerminkan suatu kondisi/ukuran  "sejahtera" tersebut, mungkin bisa saja mereka tidak kena pajak penghasilan, karena masih dalam koridor tidak kena pajak (PTKP), namun bila anak negeri ini terpaksa harus makan di restoran/rumah makan besar/hotel, maka mau tidak mau ia harus mengeluarkan biaya service charge, dan service tax tersebut.
Bagi anak negeri ini yang berada pada kondisi  ini, maka mereka merasa berat membayar service charge dan service tax tersebut, namun apa daya, mau tidak mau,  harus dibayar/dikeluarkan.
Bagaimana Sebaiknya?
Menurut hemat saya, paling tidak harus  ada win-win solution, agar anak negeri ini, terutama yang masih berada pada  kondisi/ukuran  "sejahtera" tersebut, tidak terbebani dengan pungutan-pungutan tersebut.
Jika service charge  yang terkumpul tersebut kita akan berikan kepada karyawan yang bekerja pada restoran/rumah makan besar/hotel kita, maka service charge harus  benar-benar kita berikan dan harus diberikan secara adil dan transfaran, agar benar-benar dapat  menambah penghasilannya, serta harus diberikan kepada semua karyawan yang ada, jangan diberikan kepada karyawan "kontrak" saja.
Jika service charge tersebut  tidak  diperuntukkan bagi karyawan restoran/rumah makan besar/hotel tersebut,  maka konsumen mungkin merasa berkeberatan mengeluarkan--nya.  Namun, jika  service charge  tersebut memang diberikan kepada karyawan, mungkin konsumen tidak merasa berkeberatan, bahkan bisa saja mereka menganggap-nya  "sedekah" kepada karyawan, apalagi bila konsumen merasa dilayani dengan baik.
Namun, bila tidak transfaran, dan atau ada sebagian atau seluruhnya yang masuk ke pemilik restoran, maka ini akan menjadi bumerang, niat anak negeri ini yang mengeluarkan service charge  tersebut justru terkesan akan membesarkan restoran.
Katakanlah service charge tersebut masih dipertahankan dan atau masih diizinkan pihak yang berwenang serta penggunaanya memang untuk karyawan, maka yang perlu ditinjau adalah besaranya, mungkin perlu diturunkan hanya 5 persen saja dari total nilai yang tertera di bill.
Kemudian mengenai pajak restoran 10 persen tersebut, apakah tidak sebaiknya hanya dikenakan kepada konsumen 5 persen dan dikenakan kepada pemilik restoran 5 persen, supaya konsumen tidak merasa berat.
Alternatif lain adalah  biarkan sebagaimana mekanisme pasar, artinya, jika konsumen merasa puas ia akan mengeluarkan sendiri service charge  kepada karyawan yang melayaninya, yang sering kita sebut "uang tip". Ini justru akan lebih baik, tidak membuat konsmen terbebani,  dan yang menerimanya adalah karyawan  langsung karena tidak  melaui kasir atau pemilik restoran lagi.
Terakhir  yang tidak kalah pentingnya adalah beban berupa service charge dan service tax (pajak restoran) tersebut, perlu diteliti lebih jauh lagi, karena bukan tidak mungkin, selain membebani konsumen, juga akan menggiring konsumen untuk menahan diri pergi ke restoran.Â
Kita tidak ingin, kebijakan yang kita ambil, disatu sisi memberi benefit, namun disisi lain justru menjadi bumerang bagi semua pihak. Kita berharap, kebijakan yang ada dapat memberi kemaslahatan kepada semua anak negeri ini. Semoga!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H