Pemilu sangat dinanti-nantikan bagi anak negeri ini yang mencalonkan diri, baik selaku kepala negara, kepala daerah, maupun selaku DPR/DPRD.Â
Untuk memenangkan kontestasi politik atau memperoleh suara terbanyak tersebut, si calon berlomba-lomba mempromosikan diri, bak promosi yang dilakukan unit usaha yang baru berdiri atau bak promosi produk baru yang dihasilkan.Â
Promosi yang lazim dilakukan si calon adalah "membranding diri" (personal branding) dengan tebar pesona wajah alias "memamerkan/menjual wajah" melalui baleho, bilboard, spanduk dan lain-lain.
Sehingga tidak heran kalau pada saat ini foto mereka sudah memenuhi ruang-ruang publik, bertebaran di sudut-sudut kota, menghiasi bodi-bodi oplet/ambulance dan bergelantungan di pohon-pohon bahkan terkadang dipasang juga pada tiang listrik.
Intinya (sekali lagi) kegiatan promosi awal yang mereka lakukan semua terfokus pada "jual wajah" alias "pamer foto" diruang-ruang publik, disudut-sudut kota, difasilitas publik, di bodi mobil angkot, di bodi mobil ambulans milik mereka atau tim mereka, atau milik partai mereka, dan di etalase berbayar mahal yang memang dipersiapkan untuk mereka.
Menurut saya, branding diri yang demikian sah-sah saja, hanya yang perlu diperhatikan adalah efektivitas dan optimalitasnya. Untuk itu tidak ada salahnya jika kita meniru branding produk yang dilakukan unit usaha, karena produk yang dipromosikan oleh unit usaha tersebut harus benar-benar dapat membujuk, mempengaruhi, dan atau mengingatkan calon konsumen untuk membeli produk tersebut dan atau tetap bertahan menjadi konsumen yang setia.
Promosi yang dilakukan si calon pun hendaknya demikian, branding diri si calon diupayakan dapat membujuk, mempengaruhi, dan atau mengingatkan pemilih untuk memilih dan atau tetap memilih diri kita.Â
Untuk itu promosi yang harus dilakukan si calon dengan jalan membranding diri tersebut harus dilakukan dengan piawai, dilakukan dengan tepat dan strategi yang jitu. Jika tidak, justru sebaliknya yang akan terjadi yakni citra positif yang kita harapkan justru berbalik menjadi citra negatif.
Hindari Citra Negatif
Branding diri yang dilakukan si calon salah satunya bertujuan untuk menggiring pemilih ingat wajah si calon pada saat berada di bilik surat suara atau di tempat pencoblosan nanti, sehingga diharapkan pemilih akan memberikan/menyalurkan suaranya untuk si calon dengan mencoblos gambar partai yang mengusung si calon atau gambar si calon sendiri. Namun perlu diingat, pemilih itu beragam.
Asmiati Malik (kumparan.com, 18 November 2018) pemilih di Indonesia terbagi dalam 3 tipe pemilih yakni pemilih emosional, pemilih rasional-emosional dan pemilih rasional. Pemilih emosional memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya dari sejak lahir.Â
Identitas itu bisa berbentuk dalam paham ideologis, agama dan budaya. Pemilih rasional-emosional pemilih yang cenderung diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas, dan simbolik karena mereka membutuhkan waktu untuk memproses informasi tersebut.Â
Pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan emosional dalam memaknai suatu informasi, mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka dalam artian bisa menjawab secara rinci kenapa mereka memutuskan pilihan politiknya.
Terlepas dari 3 kelompok pemilih tersebut, yang jelas jika pemilih mempertimbangkan berbagai aspek yang ada pada si calon, sama halnya dengan konsumen yang akan membeli produk yang dipromosikan unit usaha, konsumen akan mengetahui berbagai aspek termasuk keunggulan dan kelemahan dari produk yang dipromosikan tersebut.
Jika pemilih tersebut tidak mempertimbangkan berbagai aspek pada saat proses pemilihan, yang diperhatikannya/diingatnya adalah hanya gambar/wajah si calon saja, maka branding diri dikategorikan cukup efektif.Â
Tetapi jika pemilih tersebut sama halnya dengan konsumen yang akan menjatuhkan pilihannya sama dengan membeli produk yang dipromosikan unit usaha yakni dengan mempertimbangkan berbagai aspek, maka branding diri yang kita lakukan tersebut, sepertinya kurang efektif dan tidak optimal.
Pemilih rasional, singkatnya adalah pemilih yang mempertimbangkan berbagai aspek tersebut, harus disikapi dengan langkah yang tepat pula. Misalnya pemilih tersebut tidak hanya terfokus pada foto si calon, tetapi mereka juga menilai "sepak terjang" si calon di belantika kehidupannya sehari-hari, maka branding diri tersebut bisa saja bertolak belakang.
Pada saat branding diri, foto kita pajang dengan senyum seakan-akan menampilkan diri bak malaikat, orang baik, bersih dan mempunyai berbagai kelebihan. Padahal pemilih telah mengantongi berbagai catatan, kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri kita. Bila ini yang terjadi, maka tampilan branding diri kita tersebut hanya dipandang sebelah mata, di acuh kan pemilih saja.
Misalnya foto diri kita pada branding diri tersebut menampilkan senyum, kesan ramah, atribut/pakaian yang agamis, dengan harapan pemilih tertarik dan pada saatnya untuk memberikan/menyalurkan suaranya kepada kita.
Namun sekali lagi apa yang kita harapkan itu jauh panggang dari api, apabila diri kita sebenarnya justru bertolak belakang dengan kondisi yang kita gambarkan tersebut.
Bagaimana Sebaiknya?
Branding diri dengan memajang/memarkan foto diri tersebut sekali lagi sah-sah saja, namun langkah tersebut belum cukup. Sebaiknya harus ada langkah lain untuk melengkapi "daya jual" diri kita di mata publik/pemilih.
Pertama: Pelaksanaan pemilu masih beberapa bulan lagi, artinya masih ada waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk memperbaiki atau menyempurnakan atau menambah atribut promosi yang kita lakukan.Â
Setidaknya si calon harus menambahkan promosi dengan membuat suatu konten iklan yang mempertunjukkan prestasi yang pernah kita lakukan selama ini.
Bagi si calon yang sudah pernah jadi alias mencalonkan diri kembali, maka tidak ada salahnya kalau kita mempertunjukkan karya-karya kita di parlemen, seperti karya kita untuk membantu rakyat, mencari solusi persoalan rakyat, dan memperjuangkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Ini penting agar pemilih mengetahuinya dan pada saat di bilik pemilih akan memilih kita.
Kedua: Apabila si calon baru pertama kali mencalonkan diri, maka tidak ada salahnya bertanya pada diri sendiri, tentang apa yang selama ini kita sudah lakukan untuk membantu kepentingan/kebutuhan rakyat, sebaiknya kita publish, agar pemilih mengetahuinya dan pada akhirnya akan memilih kita.Â
Jika belum banyak yang kita lakukan untuk membantu rakyat, masih ada waktu untuk melakukan sesuatu dalam rangka membantu rakyat.
Ketiga: Dalam mempromosikan diri apakah membranding diri memajang foto diri kita di ruang-ruang publik atau dengan turun ke lapangan langsung menemui pemilih atau dengan cara lain yang tidak melanggar peraturan kampanye, maka bidikan kita harus sesuai dengan sasaran yang kita inginkan.
Misalnya kampanye kita ingin membidik calon pemilih dari kalangan akademik, mungkin yang bisa kita lakukan adalah dengan "bedah visi-misi-program di kampus" ditambah dengan membantu sarana prasarana kampus tanpa unsur money politic.Â
Misalnya kampanye kita ingin membidik calon pemilih dari kalangan UMKM, maka promosi yang kita lakukan bisa dalam bentuk membantu mereka mendapatkan dana murah dan membantu mereka dalam hal manajemen dan melengkapi legalitas usaha.
Keempat: Dalam mempromosikan diri, tidak ada salahnya kita meniru strategi promosi yang dilakukan pelaku usaha dalam "menjual" produknya.Â
Produk yang kita promosikan harus mempunyai merek yang unik dan berbeda dengan yang lain, produk yang kita promosikan memberi "harapan" baru kepada konsumen, produk yang kita promosikan memberi kepuasan tersendiri kepada konsumen.Â
Untuk itu, tidak ada salahnya kalau strategi ini kita lakukan juga dalam mempromosikan diri kita di mata pemilih, dengan harapan agar pemilih dijamin akan memilih kita.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya perlu disiapkan pada diri kita (calon kepala negara/daerah, DPR/DPRD) dan oleh perangkat penyelenggara pemilu adalah "unsur kejujuran, aspek kesiapan kalah-memang, tidak menipu, tidak curang, dan tidak membodohi pemilih".Â
Pemilih sudah "jenuh", kalau ini kita lakukan dikhawatirkan mereka apatis dan cenderung golput, walaupun yang demikian tidak kita harapkan. Saya yakin kita semua mengharapkan agar negeri ini tetap makmur, aman dan sentosa. Selamat Berjuang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H