Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) beberapa waktu yang lalu akan mengganti siaran TV Analog diganti dengan siaran TV Digital. Saat ini sebagian besar daerah di negeri ini sudah dilakukan penggantian siaran TV analog ke TV digital tersebut.
Penggantian tersebut dilakukan secara berangsur dan ditargetkan untuk beberapa waktu untuk beberapa kota di negeri ini. Beberapa waktu yang lalu beberapa Kota sudah dilakukan penggantian siaran TV analog ke TV digital, awal bulan ini di Provinsi Sumatera Selatan pada umumnya dan Palembang pada khususnya siaran TV analog sudah dimatikan dan akan menyusul kota-kota lain yang belum.
Kominfo kembali akan memperluas jangkauan wilayah siaran TV analog yang akan dmatikan, Kota Medan dan Makasar ditargetkan akan dimatikan pada bulan Mei mendatang. Adapun dua Kota tersebut merupkan sisa dari 11 kota yang belum dilakukan analog switch off (ASO) alias migrasi siaran TV analog ke TV digital (Detikinet, 10 April 2023)
Dalam hal ini sebetulnya anak negeri ini (masyarakat) tidak hanya dapat menggunakan TV kabel dan sateleit yang mahal, tapi mereka juga bisa menggunakan peralatan tambahan. Masyarakat masih dapat menyaksikan siaran TV dengan menggunakan peralatan tambahan berupa Set Top Box (STB), dalam hal ini Kominfo merekomendasikan 70 merek STB (lihat CNBC Indonesia, 01 April 2023)
Untuk memperoleh STB tersebut, masyarakat bisa mendapatkannya dari pemerintah, berdasarkan informasi pemerintah memberikan secara cuma-cuma alias gratis. Namun, kebanyakan masyarakat belum tahu bagaimana memperoleh STB secara gratis tersebut. Untuk itu masyarakat membeli secara bebas dipasar. Dalam memenuhi kebutuhan akan STB tersebut ternyata masyarakat dihadapkan pada persoalan keuangan, tidak dengan serta merta masyarakat bisa langusung membeli STB pasca siaran TV analog dimatikan.
Masyarakat dibeberapa daerah di Provinsi Sumatera Selatan, mengeluh dengan adanya perubahan siaran TV analog ke TV digital tersebut, diberitakan ada yang menghebohkan persoalan yang satu ini dengan membuat pernyataan kesulitan keuangan untuk membeli STB, ada yang mengeluhkan walaupun sudah menggunakan STB masih tidak bisa menikmati siaran TV dan beberapa keluhan lain (lihat tirbunsumsel.com, 03 April 2023 dan sumeks.co, 02 April 2023). Tidak hanya di tingkat daerah, ternyata di tingkat nasional pun ada juga masyarakat yang mengeluhkannya termasuk mengeluhkan cara membeli STB itu sendiri . (lihat okezone.com, di 05 November 2022 dan detik.com, 05 Desember 2022)
Harga STB yang dijual di pasar berkisar antara Rp. 250.000,- sampai dengan Rp. 300.000,-. Jika kita cermati kisaran harga tersebut, memang ada kelompok masyarakat tertentu yang belum dapat membeli STB tersebut, dan bila mereka mengharapkan bantuan pemerintah, terkendala dengan jatah yang diberikan, pada saat ini tidak semua masyarakat bisa mendapatkan STB secara gratis, karena quota nya masih terbatas. Masyarakat yang merasa kesulitan untuk membeli STB tersebut di negeri ini, terutama di daerah-daerah jumlahnya tidak sedikit.
Iklan Tergerus.
Dengan digantinya siaran TV analog menjadi siaran TV digital tersebut, setidaknya memberi dampak kepada anak negeri ini dan atau kepada beberapa pihak, timbul dampak negatif dan positif. Masyarakat harus "merogoh kantong" untuk membeli peralatan STB tersebut. Pedagang "kebagian durian runtuh" yakni dapat menjual STB secara besar-besaran. Pemilik stasiun siaran TV mengeluh karena mereka merasa terganggu, akan ada penurunan rating penonton. Pelaku usaha yang meng-iklan-kan produk nya merasa terganggu, karena dikhawatirkan akan menggerus penonton yang akan menyaksikan iklan yang ditayangkannya lewat siaran TV tersebut.
Pada saat baru-baru wacana penggantian siaran TV analog menjadi siaran TV digital beberapa waktu lalu, sudah ada beberapa pihak yang berkeberatan atas penggantian tersebut, salah seorang pemilik stasiun siaran TV (RCTI, MNCTV, Inews dan GTV), mengeluhkan dan memperotes wacana penggantian siaran TV analog menjadi siaran TV digital tersebut (lihat kompas.com, 06 November 2022)
Untuk itu saya mencoba menyoroti persoalan yang satu ini, dari sisi tergerusnya iklan akibat penggantian siaran TV analog menjadi TV digital di negeri ini.
Bila kita cermati, selama ini pelaku usaha yang mengiklankan produknya (barang dan jasa) dengan memanfaatkan siaran TV boleh dibilang lancar-lancar saja. Namun dengan adanya perubahan siaran dari TV analog menjadi TV digital, penonton yang akan menyaksikan konten iklan yang ditayangkan melalui media TV tersebut akan tergerus. Betapa tidak, di atas sudah disampaikan bahwa tidak dengan serta merta masyarakat di negeri ini bisa langsung membeli peralatan STB dan tidak semua tempat dengan menggunakan STB langusung bisa menikmati siaran TV.
Dengan demikian, berarti akan ada pengurangan penonton siaran TV dan sekaligus akan ada pengurangan penonton atau pihak yang akan menyaksikan konten iklan yang ditayangkan melalui media TV tersebut. Menurut saya, masyarakat yang demikian, jumlahnya tidak sedikit. Apalagi sebagaian besar anak negeri ini saat ini masih kesulitan "keuanagan" pasca pandemi yang melanda.
Bila kita runut, pada saat kondisi normal, sebelum adanya penggantian siaran TV analog menjadi TV digital saja, konten iklan yang kita tayangkan melalui dan atau disela-sela siaran TV tersebut masih tidak sedikit penonton yang menghindar atau tidak mau menyaksikan konten iklan tersebut, karena pada saat mereka asik-asik menyaksikan suatu siaran TV dengan tiba-tiba mereka "dipaksa" untuk menyaksikan konten iklan tersebut, ternyata mereka bisa menghindar dengan hanya menekan tombol remote control TV untuk pindah ke saluran atau siaran TV yang lain.
Apalagi dengan adanya penomena penggantian siaran TV analog menjadi TV digital, maka jelas- mereka (dengan alasan keuangan atau lainnya) yang belum dapat menyaksikan siaran TV akibat adanya penggantian TV analog menajadi TV digital tersebut akan mengurangi jumlah penonton yang menyaksikan konten iklan yang kita tayangkan melalui siaran TV tersebut.
Belum lagi, bila kita runut secara rinci dilapangan, bahwa kebanyakan masyarakat kita dalam satu keluarga memiliki lebih dari satu TV, ada yang memiliki 2 TV ada yang memiliki 3 TV bahkan ada yang memiliki 5 TV. Dilapangan yang terjadi, kebanyakan masyarakat hanya memebli satu STB saja walaupun ia memiliki 5 TV, karena pertimbangan keuangan. Dengan demikian berarti, jelas akan menggerus iklan yang ditayangkan di TV.
Belum lagi ada masalah dengan STB sendiri, misalnya di media sosial sudah viral ada salah satu pemilik STB "meledak", ada keluhan dengan gangguan siaran, ada keluhan lain yang berhubungan dengan kualitas siaran dan seturusnya.
Solusi.
Pemerintah melalui Kominfo sedapat mungkin mendata masyarakat yang tidak mampu membeli STB tersebut untuk segera dibantu atau diberlakukan kebijakan pemberian STB secara merata kepada semua anak negeri ini secara gratis, terlepas mereka sudah memiliki STB maupun belum, semua kita berikan saja.
Kemudian berhubungan dengan rekomndasi Kominfo tentang merek-merek STB tersebut, lantas bagaimana dengan merek STB yang beredar di pasaran yang diluar merek yang direkomendasikan tersebut, harus ditertibkan, jangan sampai membuat persoalan baru bagi anak negeri ini.
Kemudian, bagi pemilik stasiun siaran TV, usaha apa yang dapat dilakukan untuk membantu masyarakat yang kesulitan untuk memperoleh/membli peralatan tambahan berupa STB. Sebaiknya bekerja sama dengan pemerintah dalam hal pemberian STB secara gratis tersebut.
Dari sisi pelaku usaha yang mengiklankan produknya melalui siaran TV yang ada, harus dapat mensiasati persolan yang satu ini, agar konten iklan yang ditayangkan melalui siaran TV tersebut bisa sampai atau tetap bisa disaksikan oleh penonton TV. Misalnya melalui IT, begitu konten iklan ditangkan setidaknya beberapa menit penonotn baru dapat mengalihkan siaran TV dengan remote control-nya, seperti yang dilakukan oleh youtube dalam "memaksa" masyarakat untuk menyakskan iklan sejenak
Terakhir yang tidak kalah pentingnya ke depan, setiap ada kebijakan yang berhubungan/terkait dengan masalah ekonomi, perlu dipikirkan dengan matang terlebih dahulu, perlu lakukan studi pendahuluan yang komprehensif. Agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif yang dominan. Selamat Berjuang!!!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H