Seiring dengan perkembangan ilmu penetahuan dan teknologi (IT), terutama dengan adanya digitalisasi saat ini, berbagai modus operandi "penipuan" semakin marak. Kemudian modus-nya pun beragam dan cendrung semakin canggih, sehingga sasaran yang akan dituju pun mudah tercapai. Dalam hal ini,  pihak yang ditipu pun,  tidak merasa kalau pihak yang akan melakukan penipuan tersebut adalah suatu tindakan untuk menipu, "saking" piawai-nya pihak penipu  dalam melancarkan operasi-nya.
Kemudian setelah pihak yang ditipu sudah terlanjur melakukan apa yang diinginkan oleh penipu, baru pihak yang ditipu sadar bahwa ia sudah dihipnotis. Dengan mencermati, fenomena penipuan tersebut, memang memungkinkan dalam proses penipuan tersebut ada unsur "hipnotis"
Hal ini didukung oleh suatu pernyataan seorang  ahli hipnotrapi, Drs. R.  Budi Sarwono, MA, penipuan melalui telepon dan atau handphone sangat mungkin terjadi. Caranya dengan memaparkan kabar yang memungkinkan calon  korban mencapai pencak emosi. Untuk memancing emosi bahagia, biasanya mereka menyampikan kabar  dapat hadiah. Kemudian bisa juga dengan cara memancing perasaan sedih, mengabarkan  anggota keluarga berada di rumah sakit, kecelakaan,  atau lainnya. Nah, dalam kondisi  puncak emosi  bahagia atau sedih, memicu kelenjar hormon yang berpotensi membuat seseoang tidak bisa berpikir jernih. (Kompas.com, 22 April 2022)
Kompas.com mencontohkan  kasus penipuan melalui telepon ini menimpa seorang driver ojek online (ojol) di Semarang Jawa Tengah, saat itu ia menerima telepon itu, ia mengaku dirinya seperti dihipnotis dan menuruti kemauan  penelepon. Sehingga ia memberikan kode one time password (OTP) kepada penelepon, singkat cerita ia mengalami kerugian  Rp. 65 juta, karena penipu berhasil membobol tabungan miliknya didua bank swasta yang ada di Semarang.
Â
Kasus penipuan ini ternyata terus berkembang seiring dengan kemajuan yang telah dicapai oleh  negeri ini  dan prilaku kehidupan anak negeri ini, pelaku penipuan terus melakukan berbagai pembaharuan modus-nya, termasuk menyesuaikan dengan momentum yang terjadi.
Seperti akhir-akhir ini mulai marak kasus peniluan untuk mendapatkan uang dengan cara mengelabui  wajib pajak. Entah, apakah memang lagi maraknya kasus penyelewengan uang pajak atau memang karena wajib pajak takut dengan "fanishment" yang akan diberikan  atas ketidak taatan-nya dalam hal  kewajiban membayar pajak  tersebut, yang jelas kasus penipuan yang mengatasnamakan "kantor pajak" ini beberapa bulan makin marak.
Wajib pajak yang akan melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) melalui  situs e-filling, dimanfaatkan  penjahat siber untuk menipu wajib pajak yang lengah.  Salah satunya dengan modus pemberitahuan soal kurang bayar. Penipu menggunakan email kepada seseorang dan mengatakan bahwa mereka mengalami kurang bayar, lalu meminta pengguna untuk megirimkan konfirmasi Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan. Penguna diarahkan untuk mengklik  sebuah link atau tautan yang tidak jelas, yang bisa saja meminta data pribadi bahkan memaksa memasang aplikasi malware. (lebih lengkap lihat liputan6.com, 26 Maret 2023).
Nah, jika wajib pajak  tidak cermat apalagi ditambah adanya unsur hipnotis, maka dengan serta merta wajib pajak yang menjadi sasaran tersebut, berkemungkinan "kena tipu", sehingga mau  membayar/mengeluarkan uang atas kekurangan bayar pajak yang dimaksud oleh penipu tersebut.
Tidak hanya itu saja, ada lagi metode lain penipuan sekitar persoalan yang satu ini. Ada seorang anggota keluarga salah satu penulis kompasiana.com yang juga pengamat ekonomi Sumatera Selatan, ia mendapat serangan modus penipuan "kasus tunggakan pajak penghasilan", melalui telepon rumah. Si penipu menelepon ke rumah, memberi tahu bahwa calon yang akan ditipu belum membayar pajak atas unit usaha  yang dimilikinya dalam rentang waktu tertentu.
Dalam menyikapi serangan tersebut, anggota keluarga yang menerima telepon tersebut, secara piawai mengatakan kepada penipu bahwa "ini tidak benar",  ia tidak memiliki unit usaha, ia katakan juga ia paham masalah perpajakan ini, dan diberitahukan oleh anggota keluarga tersebut bahwa ia akan meneruskan apa yang penipu utarakan  tersebut kepada pihak yang berkompeten. Sehingga, saat itu juga si penelpon memutuskan sambungan teleponnya, dan sampai saat ini tidak menelpon kembali. Jika anggota keluarga tersebut "gamam", "panik", "takut", mungkin saja sudah kena tipu dengan serta merta akan membayar pajak yang dimaksud melalui  si penipu tersebut.
Â
Mengapa modus penipuan tersebut marak?
Pertama, dorongan kemajuan IT, terlebih sistem digitalisasi. Dengan semakin canggihnya IT, maka semakin mudah si penipu  untuk melakukan tindakan/kegiatan kejahatannya dalam bentuk penipuan  tersebut. Betapa tidak, dengan hanya  menelepon, mengirim pesan lewat media sosial, dengan hanya mengirim email dan atau media lainnya  yang berhubungan dengan IT tersebut, si penipu sudah dapat dengan cepat membidik sasarannya.
Dengan metode tertentu, entah apakah dengan  merayu, memberikan kabar gembira atau sedih tersebut, mereka dengan  serta merta dapat dengan mudah "mengelabui" dan atau "meng-hipnotis" mangsa-nya. Biasanya, sasaran yang akan ditipu tersebut, setelah memenuhi keinginan atau menuruti perintah si  penipu, baru ia sadar bahwa ia kena tipu. Fenomena  seperti ini lah yang disebut orang yang kena tipu, ia sudah di hipnotis.
Â
Kedua, dorongan  kejahatan kerah putih. Saat ini bukan rasia umum lagi, kalau kajahatan kerah putih (white collar crime) ini semakin marak  dan meraja lela di negeri ini. Hampir setiap hari media memberitakan tindakan kejahatan kerah putih tersebut. Baru-baru ini seorang Bapak Mahfud MD selaku Mentri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan telah mengangkat kasus transaksi mencurigakan di Kementrian Keuangan senilai Rp. 300 triliun dan begitu juga dengan kasus lainnya.
Sebelumnya, kita disuguhkan kasus uang nasabah beberapa bank "ludes", karena ulah tindakan oknum pegawai/pihak bank senidri, kasus uang nasabah beberapa perusahaan asuransi yang mana nasabah  tidak dapat mencairkan dana-nya (mengajukan klaim asuransi) karena beberapa perusahaan asuransi terindikasi menyalah gunakan uang nasabah dan atau terindikasi melakukan  korupsi dan seterusnya.
Fenoma ini, menurut saya tidak berhenti disini saja, tetapi ternyata kasus tersebut mampu mengilhami/menginspirasi anak negeri ini yang mempunyai niat (motivasi negatif) untuk melakukan kejahatan dengan cara menipu tersebut. Mengapa tidak, karena mereka telah mendengar, membaca tindakan kejahatan yang dilakukan si kerah putih tersebut. Dibenak mereka, mengapa tidak, mereka juga bisa,kok. Namun, sayang yang korban justru masyarakat banyak, bukan perusahaan, bukan negara, tetapi korban-nya justru masyarakat yang nota bene masih dirundung susah, dan dirundung penderitaan, karena himpitan ekonomi.
Ketiga, dorongan gaya hidup glamor dan mau cepat kaya. Dorongan gaya hidup glamor anak negeri ini dan dorongan hidup glamor kamunitas penipu juga mendorong anak negeri ini untuk melakukan tindakan penipuan tersebut. Apalagi bagi anak negeri ini yang tidak mau bekerja keras, tidak mau bersusah payah untuk mendapatkan uang, dengan kata lain, mau mendapatkan uang dengan cara gampang saja.
Untuk mensolusi persoalan yang satu ini, pihak yang berkompeten, pemerintah (ekskutif/legeslatif/yudikatif) melalui petugas keamanan, melalui otoritas IT (jasa perusahaan operator), melalui lembaga terkait lainnya harus sigap dan secepatnya mengambil langkah  agar kasus penipuan ini bisa diantisipasi sedini mungkin, agar jumlah masyarakat atau anak ngeri ini yang kena tipu tidak bertambah banyak dan senantiasa akan  terhindar dari penipuan yang demikian.
Bagi anak negeri ini agar  dapat terhindar dari penipuan tersebut,  jangan mudah percaya bila menerima telpon, WA dan sejenisnya, cek kebenarannya dengan pihak yang  berwenang, jika kasus penipuan masalah bank, laporkan  dengan bank yang dijadikan objek penipuan tersebut, jika modus penipuan masalah  pajak, laporkan dengan kantor pajak terdekat, dan setrusnya. Kemudian, bekali diri dengan pengetahuan yang cukup dengan jalan banyak membaca, dan mendengar, agar kita terhindar dari penipuan tersebut.Semoga!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H