Sudah sejak lama fenomena kenaikan harga-harga barang menjelang bulan Ramadhon sampai menjelang hari raya Idul Fitrih. Saya masih ingat pada saat masih di Sekolah Dasar (SD), disuatu desa di negeri ini, dikalangan ibuk-ibuk atau emak-emak didesa tersebut  mulai "menggerutu" karena harga-harga mulai naik menjelang tibanya bulan Ramadhon.
Fenomena  kenaikan harga-harga ini diperparah oleh sikap anak negeri ini yang memiliki uang cukup untuk melakukan aksi "borong" atau membeli dalam jumlah besar/banyak, bahkan aksi mereka  membeli  tersebut sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari. Sebagaimana teori ekonomi sedehana, tindakan mereka tersebut jelas akan mendorong/memicu kenaikan harga, apalagi ada pelaku usaha yang  sengaja "bermain" alias "menimbun" stok barang yang akan mereka jual.
Jika kita perhatikan fenomena berbelanja menjelang tibanya bulan Ramadhon sampai hari raya Idul Ftrih itu tidak hanya dipengaruhi faktor ekonomi semata, tetapi ternyata lebih dipengerauhi oleh faktor non ekonomi yakni faktor kejiwaan (faktor psikologis). Bila ditelusuri ternyata faktor psikologis ini lebih dominan dibandingkan dengan faktor ekonomi. (lihat Amidi, 2007)
Langkah Mengerem Kenaikan Harga.
Fenomena kenaikan harga-harga  ini dan atau kebiasaan anak negeri ini tersebut, sepertinya sulit untuk dirubah/dihentikan, namun  setidaknya ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam menekan harga-harga agar tidak naik secara signifikan atau tidak melambung tinggi. Sebenarnya sah-sah saja harga itu naik, namun tidak dalam koridor memberatkan konsumen.
Pertama. Sedapat mungkin kita selaku konsumen harus menahan diri, dorongan psikologis dalam berbelanja tersebut harus di rem, utamakan berbelanja atas dasar pertimbangan ekonomi. Secara sederhana dapat dikatakan, idealnya apabila kita mempunyai pendapatan, baru kita dapat berbelanja, apabila ada kenaikan pendapatan, konsumen baru dapat meningkatkan jumlah permintaan  atau baru dapat berbelanja lebih banyak.
Namun, kenyataannya kita berbelanja dipengaruhi/didorong oleh faktor psikologis, beli ini beli itu, walaupun kita tidak memiliki uang yang cukup. Sehingga, untuk memenuhi dorongan berbelanja tersebut kita lakukan dengan jalan menjual aset atau barang berharga yang kita miliki atau dengan jalan menghutang terlebih dahulu, atau cash bon di kantor.
Belum lagi ada kebiasaan, suatu darah di negeri ini, jika menyambut tibanya Hari Raya Idul Fitrih, dirumah harus ada ini dan itu, misalnya ada suatu daerah jika lebaran harus tersedia daging yang banyak, dan seterusnya. Begitu juga dalam menjalankan ibadah puasa, biasanya menjelang berbuka, kita harus menyediakan makanan ini dan itu-lah, sehingga terkadang makanan tersebut tidak kita santap karena perut sudah penuh alias kenyang. Sehingga tidak heran jika dalam hitungan satu bulan  "mubazir" terus terjadi (lihat Amidi dalam kompasiana.com, 23 April 2022)
Hindari berbelanja atas pertimbangan tidak rasional (irrasional). Berbelanjalah sesuai dengan kebutuhan, ibuk-ibuk atau emak-emak yang biasanya mulai melakukan aksi borong, mulailah merubah kebiasaan dengan  berbelanja secara normal. Yakinlah pemerintah akan mengatur stok barang yang ada di pasar.
Kedua. Pemerintah sedapat mungkin meyakinkan konsumen (pasar) bahwa stok barang/jasa memang benar-benar cukup dan tersedia di pasar. Jangan pernyataan stok cukup di atas kerja saja, tetapi harus dibuktikan dilapangan (pasar) bahwa stok memang benar-benar cukup. Sedapat mungkin kita memantau jalannya mekanisme pasar agar berjalan normal dan tidak terjadi aksi "penimbunan" yang akan dilakukan oleh pelaku usaha/pedagang demi meraup keuntungan yang besar tersebut.
 Ketiga.  Konsumen harus bisa memilah mana barang yang harus dibeli terlebih dahulu dan mana yang bisa dibeli dikemudian hari. Agar tidak terjadi penumpukan stok barang di rumah. Ini memang kelihatannya kecil, tetapi kalau semua konsumen bertindak demikian, maka akan terjadi penumpukan stok di rumah yang  lebih besar, karena terus berakumulasi.
Keempat. Dipihak pedagang, mohon lakukanlah  aktivitas berdagang dengan jujur dan  mengedepankan etika bisnis yang ada . Yakinlah bila Anda melakoni bisnis  dengan baik, jujur dan benar, maka bisnis Anda  akan menjadi berkah dan yang jelas kita sudah dapat  berbagai suatu kebaikan kepada sesama anak negeri ini. Kita (pedagang) harus tenggang rasa, kita ikut merasakan  juga kalau pada saat kita sedang berada pada posisi selaku konsumen. Pada saat kita menjadi konsumen, pastilah kita akan menerapkan prilaku konsumen yang menghendaki harga yang normal atau tidak naik melambung tinggi.
Terakhir yang tidak kalah pentingnya  perlu diperhatikan juga oleh pihak yang berkompeten dan petinggi negeri ini adalah bukan hanya kecendrungan harga-harga naik tersebut saja, tetapi kebiasan pelaku usaha/pedagang yang mengambil kesempatan dalam kesempitan melakukan aksi curang menjelang konsumen berbelanja untuk keperluan mengahdapi tibanya  hari raya Idul Fitrih tersebut juga harus diantisipasi.
Kecurangan yang mereka sering lakukan yakni menjual barang yang sudah kadaluarsa, menjual barang dan atau makanan yang membahayakan atau tidak baik bagi  kesehatan dan bentuk kecurangan lainnya. Kesemua itu harus diantisipasi jangan lagi terjadi di bulan Ramadhon kali ini, kasihan anak negeri ini, setiap momen tersebut terus menjadi "bidikan" pelaku usaha/pedagang. Selamat Berjuang!!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H