Mencermati perkembangan persoalan yang satu ini, membuat saya "tergelitik" untuk mengulasnya kembali. Â Bila kita simak, sudah banyak diskusi publik, tulisan dan ulasan di media massa dan media sosial tentang korupsi. Sepertinya penyelesaian persoalan yang satu ini rumit bak mencari jarum dalam tepung yang sudah menghitam oleh lapuk, dengan kata lain bak mengurai benang kusut yang sudah terjatu di air.
Untuk memberantas persoalan yang satu ini, pada tahun 2002 yang lalu, pemerintah  telah membentuk suatu  lembaga negara yang kita kenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari penamaan saja, lembaga negara ini, jelas-jelas akan "memberantas korupsi" di negeri ini, suatu tugas yang mulia. Entah apa yang salah, sampai saat ini sepertinya persoalan yang satu ini tak kunjung mereda, yang ada justru pelaku korupsi "semakin beringas", kasus  korupsi  sepertinya terus menanjak, disinyalir oleh dataindonesia.id, berdasarkan data KPK ada  1.261 kasus korupsi yang terjadi sepanjang 2004 hingga 3 Januari 2022.
Bila kita simak, dorongan korupsi tersebut beragam. Dalam berita  liputan 6 diungkap  bahwa  penyebab korupsi ada beberapa faktor, yakni faktor politik, faktor hukum, faktor ekonomi,  faktor organisasi, faktor  ekonomi (gaya hidup konsumtif/glamor/hedonisme), faktor sosial (adanya pembiaran dan dorongan terhadap korupsi) dan lainnya ( lebih lengkap lihat liputan6.com, 24 Juni 2021). Dari beberapa faktor tersebut, sebagian sudah saya kupas. (lihat Amidi dalam Kompasiana.com, 05 Maret 2023)
Dengan demikian, berarti lengkap sudah faktor yang mendorong anak negeri  ini melakukan korupsi tersebut. Namun, menurut hemat saya, sepertinya faktor ekonomi yang mendominasi. Betapa tidak, misalnya korupsi yang dilakukan itu karena dorongan faktor non ekonomi (didorang oleh invisible hand), nah biasanya, kan yang melakukan korupsi itu juga akan mendapatkan juga uang hasil dari korupsi tersebut, bahkan bisa saja ia mau  melakukan korupsi tersebut karena ia sudah menimbang-nimbang, ia juga akan "kecipratan" uang dari hasil korupsi tersebut.
Kemudian rata-rata, uang hasil korupsi tersebut akan mudah diketahui dengan melakukan pendekatan  harta dan kekayaan si pelaku. Masih hangat-hangatnya kasus Rafael Alun Trisamboda yang disinyalir terindikasi mempunyai harta tidak wajar, karena diduga akibat melakukan penyalagunaan wewenang alias korupsi. Angka korupsi di negeri ini  tidak kecil, dan sangat melukai hati anak negeri ini, apalagi saat ini anak negeri ini masih menderita secara ekonomi karena adanya imbas musibah pandemi selama dua tahun yang lalu.
Apalagi, bila kita lakukan pendekatan dengan anak negeri ini yang akan melunasi  biaya pergi haji-nya hanya  sekitar Rp. 25 Juta saja sulit, bisa-bisa batal berangkat haji, maka yang ada,  uang negara yang terindikasi hilang milyaran bahkan trilunan rupiah tersebut lenyap begitu saja, membuat kita/mereka  "pilu", jika uang negara yang lenyap tersebut digunakan untuk men-subsidi biaya keberangkatan haji anak negeri ini atau buat infrastruktur pendidikan/kesehatan, maka dampaknya akan luar biasa, bukan!.
Stop Budaya Konsumstif, Gaya Hidup Glamor/Hedonisme.
Seperti yang saya sinyalir sebelumnya, memang dorongan terhadap anak negeri ini untuk hidup konsumtif dan atau bergaya hidup glamor/hedonisme tersebut terbuka lebar, mengingat zaman now, dan atau era digitalisasi saat ini.  Dorongan tersebut dipicu oleh adanya keinginan untuk melakukan pamer sosial  dan dorongan gengsi sosial serta publikasi harta kekayaan lewat media sosial yang ada.  Fenomena ini dicontohkan salah seorang anak negeri ini, Mario  anaknya Rafael,  ia  menjadi perbincangan publik karena sering pamer gaya hidup mewah di akun media sosial-nya, memamerkan mobil mewah, Rubicon dan Motor Gede Harley Davidson, sampai menyeret ayahnya selaku seorang pejabat pajak (Kompastv, 23 Pebruari 2023).
Sebenarnya sah-sah saja jika kita menonjolkan penapilan dengan barang mewah untuk meningkatkan performen dan kepercayaan diri, asal barang mewah tersebut  diperoleh secara normal. Lagi pula, jika kita seorang pejabat sudah mendapat fasilitas tersebut, jadi apa lagi yang mau dikejar. Saya saja (mohon maaf sekedar contoh) pada saat diberi amanah menjadi Direktur Keuangan Rumah Sakit saja mendapat fasilitas mobil yang "lumayan" apalagi bagi kita  yang diberi amanah selaku pejabat tinggi di negeri ini.
Orang yang mengedepankan gaya hidup glamor atau gaya hidup hedonisme cendrung konsumtif untuk mencari kepuasan/kenikmatan dalam hidup dengan dorongan mengkonsumsi produk mewah, mobil mewah, rumah mewah dan cendrung dimilikinya dalam jumlah lebih dari satu (1) dan biasanya dijadikan media untuk pamer ke publik. Sebenarnya, tidak ada salahnya kita memiliki barang mewah tersebut, sekali lagi, asal diperoleh dengan cara wajar, namun akan menjadi bumerang bila diperoleh dengan jalan korupsi.
Ganti Budaya Korupsi dengan Budaya Bisnis.
Korupsi yang sudah mendarah daging atau sudah menjadi budaya tersebut, sebenarnya bisa diarahkan atau diganti menjadi budaya bisnis. Sebenarnya pendapatan/penghasilan yang kita peroleh, apakah kita selaku pegawai swasta, PNS atau isntitusi lainnya, terutama yang angkanya/nilainya  sudah "lumayan" tersebut,  bisa kita tingkatkan lagi angkanya/nilainya dengan  "other income" melalui kegiatan bisnis yang  kita jalankan atau yang akan kita jalankan nanti dari uang kita dapatkan tersebut.
Apalagi bagi pegawai yang menduduki jabatan tinggi atau jabatan publik, maka pendapatan/penghasilan yang tergolong "gede" tersebut, bisa menjadi lebih "gede" lagi bila kita usahakan dengan jalan bisnis. Apalagi pasar dan atau konsumen yang akan menjadi sasaran kita sangat potensial, apa yang dijual di negeri ini, dapat dipastikan akan dibeli. Bukankah, anak negeri ini terkenal dengan sifat konsumtifnya. Â Mengapa tidak, kita melakukan bisnis. Pelaku usaha/bisnis di negeri ini justru sudah pada banyak yang kuat, dan menjelma menjadi "konglomerasi", kenapa tidak, anak negeri ini juga "bisa" sekapasitas mereka.
Sumberdaya alam yang tersedia, sering kita jual langsung atau kita jual berupa produk primer, berupa produk belum diolah, yang nota bene belum menciptakan nilai tambah (value added). Â Nah, mengapa tidak, kita nimbrung untuk melakukan bisnis, Â untuk menciptakan "hilirisasi", menciptakan industrialisasi. Sebagai contoh saja, di Palembang, dulu ada pabrik Ban Mobil dan Motor, bangkrut, karena terkendala tehnis/operasional, nah artinya peluang ini masih tersedia dan memang menjanjikan.
Mengapa tidak, pejabat pegawai di kantor Kementerian Keuangan mempunyai bisnis pabrik Ban atau bisnis Energi yang mengelolah batu bara  menjadi minyak  atau bisnis lainnya, ketimbang kita berlomba-lomba memenuhi kebutuhan konsumtif atau menuruti hawa nafsu glamor/hedonisme  dengan tindakan merugikan negara dan rakyat banyak tersebut (baca: " k o r u p s i").
Namun ingat, bisnis juga harus dilakukan dengan normal, jangan mau cepet alias mau instan dilakukan dengan "curang", jika demikian, maka sama saja dengan kita melakukan tindakan yang merugikan banyak pihak tersebut (korupsi). Lakukan bisnis dengan normal, saya yakin kita bisa. Apalagi bila kita seorang pejabat, tentu memiliki banyak akses. Nah, akses tersebut sah-sah saja kalau kita manfaatkan dalam rangka memperlancar dan memperbesar bisnis kita.
Yakinlah, dengan hasil bisnis tersebut, bukan kita ingin membeli jabatan, tetapi justru hasil bisnis kita tersebut bisa memberi kemaslahatan untuk semua bahkan seorang bisa saja dengan hasil bisnisnya membali apa saja, (maaf) termasuk memebeli pulau bahkan membeli suatu negara, jika ada yang mau menjual.
Contoh seorang Elon Musk pelaku bisnis, penemu, dan industrialis dari Amerika Serikat yang total kekayaannya dihitung sebagai yang nomor satu di dunia versi Bloomber. Jumlah  kekayaan Elon Musk yang begitu fantastis ini bahkan di klaim mampu untuk membeli sebuah negara dengan uang yang dimilikinya. (zonabanten.com, 22 Pebruari 2022).
Â
Maaf ini hanya sekedar pemikiran bebas, menurut saya  ketika kita sudah menjadi pelaku bisnis/usaha yang kaya raya,  mungkin  kita sudah tidak lagi dihantui oleh suatu keinginan untuk menjadi pejabat pada suatu institusi yang bergengsi  dan atau dihantui untuk menjadi pejabat publik tertinggi di negeri ini, sudah menjadi pejabat tidak lagi mau "menyambi" jadi komisaris, yang ada kita akan konsen untuk mengurus bisnis kita.  Kalau pun pemikiran kita dibutuhkan, atau kita diminta "menjabat" tersebut, mungkin bisa kita penuhi, namun orietntasinya bukan lagi mencari uang tetapi justru kita menyumbang demi kemajuan negeri ini, karena kita masih tetap ingin mengurus bisnis kita. Namun, dalam hal ini jangan pula karena uang hasil bisnis kita sangat fantastis, maka kita mau mengatur dan atau mengarahkan kebijakan suatu negara. Selamat tinggal pelaku-pelaku korupsi, selamat datang pelaku-pelaku bisnis. Semoga!!!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H