Sampai saat ini permasalahan minyak goreng belum juga tuntas. Pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan dalam rangka mengatasi permasalahan yang satu ini yakni kebijakan pemberlakukan minyak goreng satu harga, kebijakan penetapan Domestik Market Obligation (DMO) dan DPO Â serta kebijakan mematok Harga Eceran Tertinggi (HET). Kemudian baru-baru ini Presiden memutuskan menyetop ekspor CPO dan minyak goreng.
Dilapangan ternyata kebijakan demi kebijakan tersebut belum ampuh mengatasi permasalahan minyak goreng.Bahkan justru menimbulkan permasalahan baru lagi, pasar justru menyikapi persoalan minyak goreng ini dengan sikap skeptis,. sampai terjadi ekses yang menggiring ada pihak Kementerian Perdagangan yang menjadi tersangka.
- Â Minyak Goreng Satu Harga.
Dalam rangka mengatasi tingginya harga minyak goreng, pemerintah dengan serta merta  menetapkan kebijakan minyak goreng satu harga yakni setara Rp. 14.000,- per liter.  Sayanagnya kebijakan penyediaan minyak goreng satu harga tersebut hanya diberlakukan pada gerai-gerai mini market,  dan  atau  pengusaha ritel yang tergadung dalam Aprindo saja, Artinya, masyarakat (baca:mak-mak dan pelaku usaha kecil)  hanya dapat memperoleh minyak goreng satu harga  masih terbatas, sementara pada  pasar--pasar tradisional  minyak goreng satu harga tersebut belum tersedia.
Eh, baru dua bulan berjalan kebijakan  minyak goreng satu harga tersebut menimbulkan permasalahan baru lagi, yakni terjadi kelangkaan. Penyebab kelangkaan  karena harga minyak sawit mentah- crude plam oil (CPO)  diluar negeri memang sedang menggiurkan alias tinggi menyebabkan kuantitas ekspor yang cendrung bombastis, adanya permintaan CPO untuk mencampur bio disel  dan adanya imbas  giopolitik/perang  rusia-ukraina,  yang menyebabkan pasokan minyak nabati bunga mata hari dari laut hitam terhenti mendorong pasar beralih ke sumber alternatif yakni minyak nabatih lain seperti minyak sawit - CPO.
Penetapan DMO dan DPO
Menyikapi hal di atas, kembali pemerintah mengambil kebijakan dengan menetapkan DMO produk minyak goreng menjadi 30 persen yang  sebelumnya sudah ditetapkan 20 persen. Semua pelaku ekspor CPO  wajib menyerahkan DMO sebanyak 30 persen, yang artinya kewajiban pelaku ekspor CPO memsasok 30 persen kebutuhan CPOÂ
Namun dilapangan  kebijakan DMO 30 persen tersebut ditolak oleh Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI). Pasalnya , kebijakan ini dinilai akan mengganggu ekosistem industri persawitan nasional. Ketua Umum GIMNI, Sahat Sinaga, menjelaskan kebijakan DMO  yang sebelumnya 20 persen dari total eskpor CPO adalah sangat mencukupi  untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng nasional.  (Republika.co.id,11 Maret 2022)
- Harga Eceran Tertinggi (HET).
Sehubungan dengan itu, pemerintah pun per 1 Pebruari 2022 yang lalu  telah menetapkan HET minyak goreng curah  Rp. 11.500,- per liter, kemasan sederhana Rp. 13.500,- per liter dan kemasan premium Rp. 14.000,- per liter (Cnindonesia.com, 27 Januari 2022)
Tidak lama kemudian ternyata HET dicabut. Menteri Perdagangan, Muhammad Lutfi menyatakan, pemerintah telah resmi mencabutkebijakan HET minyak goreng  kemasan dengan keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 11 Tahun 2022. Sementara, pemerintah  masih menetapkan HET minyak goreng eceran diangka Rp. 14.000,- per liter atau Rp. 15.500,- per kilogram. (Kompas.com, 17 Maret 2022)
Begitu dicabut HET minyak goreng kemasan tersebut, minyak goreng langsung melimpah di pasar, dan harganya melambung tinggi. Ini (sekali lagi) menunjukkan  pemilik kekuasaan dikalahkan oleh kekuatan korporasi. Rakyat yang menjadi sasaran, dan  rakyat yang menderita.
- Pelajaran Berharga.
Dari permasalahan ganjang ganjing minyak goreng tersebut, setidaknya kita dapat menyimpulkan bahwa pemilik korporasi mempunyai kekuatan ekonomi  dan cendrung dapat mendekte  kekuasaan dan pasar.