Kebiasaan melakukan hal-hal yang berlebihan (mubazir) yang cendrung menimbulkan ekses negatif di kalangan masyarakat negeri ini sepertinya sudah merupakan hal lumrah, Â terutama mubazir dalam hal makanan.Â
Intensitas makanan mubazir tersebut semakin meningkat terutama disepanjang dan atau selama bulan Ramadan ini.
Hal ini sangat memungkinkan, karena tidak sedikit dari kalangan masyarakat di negeri ini yang sedang menjalankan ibadah puasa lebih mengedepankan dan mengukuti "hawa nafsu" dalam rangka memenuhi kebutuhan akan makanan untuk berbuka.
Mereka biasanya menyediakan berbagai jenis makanan, namun pada saat berbuka makanan-makanan tersebut tidak semua dimakan, hanya dimakan sedikit saja sehingga  mubazir.
Tidak heran, jika kita temukan sisa makanan dalam tumpukan sampah yang telah dikumpulkan disuatu tempat. Bahkan dari sampah-sampah yang ada, Â sampah makanan mendominasi.Â
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2020, saja , Indonesia menghasilkan sampah 67,8 Â juta ton. Artinya terdapat 185.753 ton sampah per harinya yang dihasilkan dari masyarakat Indonesia.Â
Setiap orang di Indoensia aktif menyumbang  sampah sebanyak 0,68 kg setiap harinya. Dari total tersebut  sampah makanan merupakan komposisi sampah yang paling banyak ditemukan, yakni sebanyak 30,8 persen.Â
Selanjutnya diikuti sampah plastik sebesar 18,5 persen, sampah kayu, ranting dan daun sebanyak 12 persen, sampah kertas/karton 11,2 persen, sampah kain sebanyak 4,9 persen, sampah logam sebanyak 3,56 persen , sampah karet/kulit sebanyak 3,5 persen, sampah  kaca sebanyak 2,8 persen dan jenis sampah lainnya sebesar 12,8 persen. (Pikiran Rakyat.com, 19 April 2021)
- Negara Kedua Mubazir
Berdasarkan laporan terbaru Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan  setiap orang  di Indonesia setiap tahunnya menghasilkan  sekitar 300 kilogram sampah makanan.Â
Jumlah tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara kedua di dunia yang menghasilkan sampah makanan terbesar setelah Arab Saudi.