Pikiran tak senonoh itu mendadak muncul lagi. Selalu saja begini ketika Risa ada di sisiku. Mungkin karena faktor umurku yang hampir berkepala tiga, jadi sepertinya pacaran bukanlah solusi untuk perjaka sepertiku. Cinta? Aku sudah lupa bagaimana rasanya.
Sekarang nafsu yang selalu mendominasi isi kepalaku apabila mataku memandang wanita muda sepertinya. Kalau bukan karena iman, entah apa yang sudah kulakukan pada Risa sekarang. Karena itu, kuputuskan untuk mengajaknya menikah malam itu.
"Ris, will you marry me?"
Kata-kataku memotong omongannya yang kemana-mana dengan sifat grapyak, banyak tingkahnya itu dan membuat pikiranku kotor.
"Ha? Apa?" jawabnya tercekat.
"Aku nggak mau ngulangin, iya atau tidak. Atau kita berakhir sekarang."
Ketegasanku yang bukan biasanya ini membuat keningnya berkeringat. Risa membuang pandangan matanya ke bawah.
"Tapi, Dim..aku kan masih belum.."
"Oke."Â
Aku bangkit kemudian membalikkan badan. Risa menarik lenganku, kulepas paksa. Beberapa alasan keluar dari mulutnya tak kudengarkan. Kuanggap sepeti bising jalanan yang mewarnai perpisahan kami di taman sore itu.
*******
Aku rindu cinta tanpa nafsu. Memang benar, nafsu harus ada apabila dua pasangan memutuskan untuk hidup bersama, demi kelangsungan sebuah generasi. Tapi, biarlah hal itu muncul setelah lisan ini mengucap kata-kata sakral ; akad nikah. Aku ingin cinta yang murni saat menemukan sosok wanita idaman. Seperti saat aku melihat Kayla, dulu.
*******
Gadis dengan kerudung putih itu sama sekali tidak menyapaku. Sifat caper yang kumiliki sama sekali tak membuatnya melirik. Aku ingin disapa olehnya sekali saja. Reuni keluarga yang diadakan setahun sekali ini benar-benar berbeda sebab gadis bernama Kayla ini adalah bintang tamunya.Â
"Kayla, 21 tahun. Baru pulang dari Maroko. Lancar berbahasa Arab, hafal Alquran, dan juga siap dipinang! Hahaha!"
Celotehan Fikri, paman kandung Kayla yang juga sepupuku ini membuatnya merona sambil mencubitnya beberapa kali.
"Aku daftar!" jawabku menjawab celoteh Fikri dan mengharap sapaan Kayla.
"Hus, kalau kamu langkahin dulu mayatku, Dim!"
"Oke, kita fight sekarang." Aku memasang kuda-kuda. Tapi, hanya tawa para sepupuku yang kudapat. Sedangkan Kayla, tersenyum saja tidak.
******
Setahun aku mengambil kursus Bahasa Arab di salah satu lembaga pendidikan. Mati-matian kuhafalkan kosakata, kupelajari tata bahasa, gaya bicara, bahkan kuhafalkan juga beberapa syair Arab. Ketika awal pendaftaran, aku mengisi kolom motivasi belajar : membuat tersenyum orang yang saya cintai.
Hari itu datang juga. Beberapa kali setelah aku mendapat sertifikat 'Excellent' dari lembaga tersebut. Reuni keluarga yang kuharap ada Kayla di sana. Tentu saja, aku tak bertemu dengannya lagi sejak saat itu, sebab dia tinggal di luar Jawa.Â
"Kayla mana, Fik?" Pertanyaan pertama yang kutanyakan pada Fikri sebelum bertanya kabarnya.
"Lagi di jalan, bentar lagi sampai," jawab Fikri, "kenapa? Kangen?" celotehnya.
"Hehe, nggak kok. Cuma.."
"Cuma apa? Hati-hati lho."
"Kenapa?"
Belum sempat dijawab pertanyaanku, kudengar seseorang mengucapkan salam. Mataku berbelok arah suara dan itu berasal dari Kayla. Dia tersenyum, indah sekali. Aku terhenyak, ini yang kudambakan selama ini. Aku mendapatkan senyumannya meski senjata rahasiaku belum sempat kugunakan.
"Apa kabar, kak Dimas?"
Ada ratusan kosakata arab dan puluhan syair di kepalaku siap menjawabnya. Tapi semuanya perlahan memudar, hilang, sirna tak berbekas ketika kulihat sosok lelaki asing berdiri menggamit tangannya. Yang tersisa hanyalah satu kata saja.
"Uhibbuki, Kayla.."
Mekah,24 Maret 2019
*) Uhibbuki : Aku mencintaimu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H