Aku rindu cinta tanpa nafsu. Memang benar, nafsu harus ada apabila dua pasangan memutuskan untuk hidup bersama, demi kelangsungan sebuah generasi. Tapi, biarlah hal itu muncul setelah lisan ini mengucap kata-kata sakral ; akad nikah. Aku ingin cinta yang murni saat menemukan sosok wanita idaman. Seperti saat aku melihat Kayla, dulu.
*******
Gadis dengan kerudung putih itu sama sekali tidak menyapaku. Sifat caper yang kumiliki sama sekali tak membuatnya melirik. Aku ingin disapa olehnya sekali saja. Reuni keluarga yang diadakan setahun sekali ini benar-benar berbeda sebab gadis bernama Kayla ini adalah bintang tamunya.Â
"Kayla, 21 tahun. Baru pulang dari Maroko. Lancar berbahasa Arab, hafal Alquran, dan juga siap dipinang! Hahaha!"
Celotehan Fikri, paman kandung Kayla yang juga sepupuku ini membuatnya merona sambil mencubitnya beberapa kali.
"Aku daftar!" jawabku menjawab celoteh Fikri dan mengharap sapaan Kayla.
"Hus, kalau kamu langkahin dulu mayatku, Dim!"
"Oke, kita fight sekarang." Aku memasang kuda-kuda. Tapi, hanya tawa para sepupuku yang kudapat. Sedangkan Kayla, tersenyum saja tidak.
******
Setahun aku mengambil kursus Bahasa Arab di salah satu lembaga pendidikan. Mati-matian kuhafalkan kosakata, kupelajari tata bahasa, gaya bicara, bahkan kuhafalkan juga beberapa syair Arab. Ketika awal pendaftaran, aku mengisi kolom motivasi belajar : membuat tersenyum orang yang saya cintai.
Hari itu datang juga. Beberapa kali setelah aku mendapat sertifikat 'Excellent' dari lembaga tersebut. Reuni keluarga yang kuharap ada Kayla di sana. Tentu saja, aku tak bertemu dengannya lagi sejak saat itu, sebab dia tinggal di luar Jawa.Â