Perasaan ini membuncah bersamaan dengan mules perutmu ketika memasuki kota Solo. Ketika kuterima panggilan video call-mu yang menunjukkan jalanan kota itu setelah kulihat paras bidadari milikmu terpampang jelas di layar ponsel. Andai saja aku bisa menciumnya.
"Ini di mana, hayo?"
"Bunderan Gladag! Ah, itu terus ke kanan ada Lapas, terus masuk ke kiri, dah jalan dikit itu rumahku!" seruku heboh bercampur dengan rasa galau.
Mobil yang kau tumpangi tampak berbalik arah. Tak mengikuti instruksi yang kuberikan. Aku hanya mendesah kesal penuh sesal.
"Ih, orang kamunya di sana. Masa aku ke rumahmu tanpamu?" jawabmu menampik sesalku.
Wajahmu kembali terpampang jelas. Membuatku lupa akan sesal yang barusan kukeluhkan.
"Udah tombo kangennya?" tanyamu sembari tersenyum, mesra.
"Udah," sahutku dengan sedikit cemberut. Tapi masih tak berkedip.
Kupenuhi pandanganku dengan wajahmu. Pesona indahnya mengalahkan kota kelahiranku yang sedang kau kunjungi. Cahaya matamu menafikkan temaram lampu indah di jalan Slamet Riyadi. Sebuah karya seni nan agung berkomposisi dari senyuman indah, rona pipi, kulit putih bersih menjadikan batik khas kampung halamanku itu tak lagi berarti bagiku sekarang. Aku takkan membanggakannya lagi. Aku hanya akan bangga karena memilikimu.Â
Saat ini harapanku adalah suatu saat aku bisa pulang. Bukan ke Solo, tapi ke pelukanmu. Pada bibir merah muda, yang aku yakin rasanya lebih lezat dari serabi Notosuman, nasi Liwet, dan semua jenis makanan di Galabo.
Kau, gadis Kediri yang sedang jalan-jalan ke Solo.
Mekah, 28 Oktober 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H