Mohon tunggu...
Ami Abeb
Ami Abeb Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Anak Rantau

Nulisnya nunggu mood.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Bulan Motivasi RTC] Satu Kilometer Mimpi

22 Mei 2016   05:41 Diperbarui: 27 Desember 2016   17:02 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Ways of dream https://cat9554.files.wordpress.com/2014/05/dreamdoor.jpg"][/caption]

 

#TimSemangkah

#BulanMotivasiRTC

"Mimpi tak berada jauh darimu. Hanya satu kilometer. Bahkan mungkin lebih dekat dari itu."

***
Langkah cepat seorang pemuda. Sammy. Ia menuju pintu sebuah rumah semi permanen dengan riang. "Ma...!!!" teriaknya sambil mendorong pintu rumah yang memang sudah sedikit terbuka. "Aku pulang!" serunya bersemangat.

Seorang perempuan paruh baya menyambut kedatangan Sammy. Perempuan itu terheran-heran saat putra semata wayangnya memeluknya erat-erat.

"Ada apa, Nak?"

"Novelku akhirnya diterbitkan, Ma! Novel perdanaku!" Sammy tertawa girang lalu mengangkat tubuh mamanya berputar-putar, mengelilingi ruang tamu.

“Selamat, Nak. Akhirnya mimpimu terwujud. Winnie sudah tahu?” tanya perempuan paruh baya itu mengingatkan.

Sammy menepuk keningnya. Hampir saja ia melupakan hal itu. Setelah mamanya, Winnie adalah motivator sekaligus sumber inspirasinya dalam menulis. Dia adalah teman masa kecil dan sahabat terbaik, yang akhirnya menjadi kekasih hatinya.

“Halo, Sayang! Ada kabar baik. Novelku akan diterbitkan!” Sammy menelepon pujaan hatinya.

"Wow! Bagus sekali, Sam!" sambut Winnie antusias. "Kita harus merayakannya," seru gadis itu.

"Kamu benar. Aku akan ke rumahmu sekarang. Boleh aku ajak Mama?"

"Tentu boleh," jawab Winnie segera. Suara sekretaris perusahaan ekspor-impor itu terdengar antusias.

Baru saja Sammy menuntun mamanya keluar dari rumah, raut wajah perempuan itu mendadak memucat, seperti menahan sakit.

"Ada apa, Ma?" tanya Sammy khawatir. Ia menuntun mamanya untuk masuk kembali ke dalam rumah.

"Tak perlu," mamanya mengibaskan tangannya. "Mama bisa sendiri. Pergilah, Winnie sedang menunggumu."

"Tapi, Ma..."

"Mama tak apa-apa. Cuma kelelahan. Percayalah."

"Mama yakin?" Sammy menatap mamanya lekat-lekat.

"Pergilah, Nak. Mama baik-baik saja."

Seusai mencium tangan mamanya, tiga puluh menit kemudian, Sammy sudah berada di muka pintu rumah Winnie.

"Loh, Mama mana, Sam?"

Winnie muncul dengan rambut sedikit basah, menambah kecantikannya di mata Sammy. Gadis berwajah oval itu mengenakan gaun batik berwarna cokelat. Wajahnya menyiratkan keheranan.

"Hmmm... maaf, ya. Mama nggak jadi ikut, kelihatannya sakit," jawab Sammy lirih.

"Harusnya aku saja yang datang ke rumahmu," sesal Winnie.

"Jangan khawatir," ujar Sammy, "Mama cuma kecapekan dan butuh istirahat."

"Oh, ya sudah. Masuk, yuk!" ajak Winnie sambil menggandeng tangan Sammy.

Tiba-tiba, Sammy menyelipkan sebuah kotak di tangan kekasihnya. Kejutan itu sudah ia siapkan jauh hari sebelumnya. Sekarang adalah saat yang tepat.

"Eh, ini apa, Sam?"

"Second surprise!" Sammy tersenyum, "buka saja."

Winnie membuka kotak mungil itu. Sebuah cincin emas berkilau dalam kotak itu. Gadis itu terperangah lalu tersenyum. Tapi gadis itu tak segera menjawab pernyataan Sammy. "Duduklah dulu," kata Winnie setelah keduanya berada dalam rumah, "sebentar, aku ambil tas dulu," tambahnya kemudian.

Sammy pun duduk di kursi, resah menunggu jawaban kekasihnya. Kekhawatiran terhadap mamanya melintas.

"Ayo Sam, kita berangkat," tiba-tiba Winnie sudah berada di hadapannya.

Sammy meraih tangan Winnie. Ia membukakan pintu taksi untuk gadis itu. Taksi melaju menuju kafe tempat favorit mereka menghabiskan waktu jika sedang senggang.

"Win," ucap Sammy sambil meraih jemari kekasihnya, "aku butuh kepastian darimu." Padahal mereka baru saja duduk.

Winnie tersenyum, "tak usah kau tanya, aku sudah milikmu, Sam.”

Perlahan Sammy mengecup kening kekasihnya. Gadis itu hanya tertunduk, malu. Sedang hatinya, adalah rahasia miliknya sendiri. Sammy cuma bisa berharap, semoga kebahagiaan mereka bukanlah semu.

***

Sammy sedang berapi-api memberikan penjelasan di toko buku sebuah mal. Pemuda itu antusas, karena acara bedah novel perdananya dihadiri oleh dipadati oleh pengunjung. Sementara itu, Winnie yang setia mendampinginya, sibuk memainkan gadget-nya. Sebuah cincin emas melingkar di jari manisnya. Cincin pertunangan mereka berdua.

Tiga bulan berlalu. Sammy kini berada di ambang kesuksesan. Novel pertamanya laris manis dan menjadi buah bibir, meski belum bisa disebut best seller. Hal itu membuat pihak penerbit memberikan tantangan untuk Sammy untuk menulis novel kedua dalam waktu relatif singkat. Empat bulan saja. Sammy menyanggupinya tanpa ragu.

Suatu sore, Sammy duduk berdua dengan mamanya di beranda rumahnya. "Ma, kira-kira cerita tentang apa ya untuk novel keduaku?" Sammy membuka percakapan setelah mamanya membawakan secangkir teh untuknya.

"Semangatmu luar biasa, Nak," puji mamanya kagum.

"Pihak penerbit memintaku menulis novel keduaku, Ma," timpal Sammy.

"Kamu masih ingat kata-kata Mama saat kamu memutuskan untuk menjadi seorang penulis?"

Sammy mengangguk. Terbayang kembali dalam ingatannya masa-masa awal perjuangannya dulu agar cerpen-cerpennya dimuat di berbagai media. Saat semua itu terwujud, mamalah orang yang terus menyemangatinya agar terus maju meraih impiannya. Ketika ia menyampaikan niatnya serius menjalani profesi penulis pun, mama tetap mendukungnya. Bahkan, perempuan paruh baya itu berpesan, bahwa mimpi tak berada jauh. Hanya satu kilometer. Bahkan mungkin lebih dekat dari itu.

"Aku takkan pernah melupakannya pesan Mama," ujar Sammy sambil menggenggam kedua tangan mamanya.

"Kalau begitu, tuliskan tentang itu. Untuk Mama."

Sammy mengangguk. Sepasang matanya merebak basah.
***
Puluhan wartawan sedang mengerubuti Sammy. Pertanyaan bertubi-tubi dilontarkan berbarengan dengan kilatan lampu blitz yang menyilaukan mata. Peluncuran novel keduanya berjalan sukses. Dalam waktu singkat, novelnya yang berjudul Satu Kilometer Mimpi menjadi best seller dan akan diangkat ke layar lebar. Selangkah lagi, gelar novelis papan atas akan disandangnya.

Di tengah keriuhan itu, ponsel Sammy terus berdering. Tentu saja ia tak mendengarnya. Sammy tak menyadari, di balik dering yang terabaikan itu, ada badai yang siap menerjang.

Sementara itu, mamanya sedang berbaring tak berdaya di rumah. Para tetangga dan keluarga yang berkumpul menunggu dengan gelisah.

"Sudah siap ambulansnya, Pak RT?" Seorang tetangga bertanya tak sabaran.

"Sudah," jawab Pak RT dengan wajah tegang. Brankar diturunkan dari ambulan. Mama Sammy segera dipindahkan ke atasnya. Perempuan paruh baya itu tak sadarkan diri. Kerabat Sammy masih terus mencoba menghubungi pemuda itu. Tapi gagal. Para keluarga dan tetangga yang memutuskan untuk segera melarikan mama Sammy ke rumah sakit.

Seorang wartawan tiba-tiba mengajukan pertanyaan, kapan Sammy akan menikah. Rona merah menjalari wajah Sammy. Sammy tersandung kaki seseorang dan terjerembab. Pada detik bersamaan, seorang perempuan paruh baya menutup mata untuk selama-lamanya. Sebuah nama terucap lirih dari bibirnya. Sammy.
***
Hancur. Kalau saja ada kata yang lebih parah dari itu untuk melukiskan hati Sammy saat ini. Kematian mama membuatnya tenggelam dalam sesal berkepanjangan karena ia tak sempat menyaksikan kepergian perempuan yang dikasihinya itu. Semua itu terjadi karena novelnya sendiri. Semangat menulisnya sirna. Setiap mencobanya, ia bertemu jalan buntu. Satu huruf pun ia tak mampu. Pemuda itu mengurung diri di rumah saja. Telepon dan pesan dari pihak penerbit serta para penggemar ia abaikan.

Dua tahun lamanya, Sammy tenggelam larut dalam rasa bersalah. Ia seperti orang yang kehilangan arah dan harapan. Kehadiran Winnie pun seakan tak berarti. Sementara itu, di sisi lain, Winnie mulai tergoda bujuk rayu atasannya. Silaunya harta benda membuat gadis itu terlena. Apalagi sejak berhenti menulis, keuangan Sammy drastis menurun. Perlahan-lahan, jarak di antara mereka renggang dengan sendirinya.

Jalan hidup tak bisa ditebak arahnya. Sammy mulai kecanduan minuman beralkohol. Jalan pintas untuk bersembunyi dari penyesalan yang kian menghimpit. Sekali waktu, ia pergi menemui Winnie, berniat mencurahkan sesak di dadanya. Malangnya, gadis itu sedang berada dalam pelukan lelaki lain. Sammy terpana saat kekasihnya itu menyuruhnya pergi dengan kata-kata tajam. Seakan cinta tak pernah hadir di antara mereka. Tatapan Winnie menyiratkan, bahwa dirinya tak lebih dari seseorang yang memalukan.

Malam itu, Sammy berjalan dengan tubuh sempoyongan di jalan raya sambil berharap agar sebuah truk atau bus menabraknya. Sosoknya lusuh tak terurus. Alkohol sedang menguasainya. Pemuda itu tak lagi memiliki kemauan untuk melanjutkan hidupnya. Mama telah pergi untuk selamanya. Winnie tega mengkhianatinya. Hatinya terasa hampa.

Suara klakson bus nyaring terdengar semakin mendekat. Namun Sammy tak menghiraukannya, karena memang itulah yang diinginkannya. Tiba-tiba, sebuah tangan kecil dengan sekuat tenaga menariknya ke pinggir jalan. Mereka jatuh terguling, seiring suara rem yang berdecit memekakkan telinga. Bus berhenti. Hanya setengah meter saja jaraknya. Nyaris saja.

“Kakak mau mati!” seru anak itu.

Sammy menatap nanar pada sosok bocah penjaja koran yang telah menyelamatkan nyawanya. Sepasang mata bocah dekil itu menyorotkan api perjuangan. Bocah itu menuntunnya bangkit.

"Ayo, kita pergi, Kak," ajak bocah itu. Sammy menurut saja. Kepalanya berdenyut. Pengaruh alkohol masih menguasainya. Bocah itu membawanya ke berjalan cukup jauh. Langkah Sammy terseok-seok. Tapi ia ingin tahu, ke mana mereka akan pergi.

"Kita sudah sampai, Kak. Sebaiknya Kakak beristirahat dulu di sini." Bocah itu meminta Sammy untuk berbaring di atas tumpukan kardus.

"Ka-mu... tinggal di sini?" Sammy menatap berkeliling. "Rumah" bocah itu cuma tumpukan kardus di bawah jembatan layang dan berdindingkan spanduk bekas. Sangat jauh dari kata nyaman.

Bocah itu mengangguk mantap. "Ya, Kak," jawabnya tanpa ragu, "yang penting bisa berteduh."

Sammy tertegun. Semangat bocah itu mengingatkan akan dirinya yang dulu. Lalu, siapakah ia sekarang? Jemari Sammy bergetar saat menelusuri celana dan kemeja kumal yang dikenakannya. Saat menyentuh rambut ikalnya yang kusut tak tersisir dan mengendus aroma alkohol yang menusuk hidung, Sammy menyadari sesuatu. Ia bahkan tak mengenali dirinya sendiri.

"Jangan berpikir apa-apa, Kak. Istirahatlah." Bocah itu tersenyum padanya.

Senyum di bibir bocah itu mengingatkan Sammy pada senyuman mama. Perlahan sepasang mata Sammy terlelap.

***

Bulan-bulan berlalu. Sammy berusaha bangkit dan mulai menulis lagi. Ketika menemui kegagalan, ia pergi menemui bocah penolongnya. Mereka bersama-sama menjajakan koran menyusuri trotoar. Saat-saat itulah, Sammy merasakan hidupnya bergairah kembali.

Suatu sore, Sammy mengajak bocah penolongnya berziarah ke pemakaman. Ia mencium nisan mamanya, lalu meletakkan novel ketiganya di atas makam mamanya.

“Mama benar, mimpi itu tak pernah jauh,” desahnya lirih, “sekarang, jemputlah Sammy dalam rengkuhan mama.” Sammy memeluk nisan mamanya.

Angin dingin berhembus kencang disertai rintik hujan. Membasahi tubuh Sammy. Sepasang mata pemuda itu terpejam.

“Kak, ayo pulang. Hujan mulai deras," ajak bocah itu. Sammy bergeming.

“Kak? Kakak?”

Tak ada jawaban. Sunyi.

***

Mekkah-Medan-Tasikmalaya
Mei, 2016

Kolaborasi Fitri Manalu, Ami Abeb dan Dede Mitsi

 

[caption caption="Rumpies the club"]

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun