Membaca Di Pojok Sebuah Kelenteng
Abdul Rasyid Idris
Tidak perduli bagaimana caramu bercerita karena yang terpenting adalah apa yang engkau ceritakan.Â
Nasihat ini datang dari seorang penyair tua, seorang yang menggemari cerita-cerita biasa, dan dalam kadar tertentu tidak lagi menggunakan pisau analisisnya sebagai guru besar ilmu sastra. Dan itu pulalah agaknya yang menjadi kesan awal ketika membaca buku Di Pojok Sebuah Kelenteng, kumpulan cerpen Abdul Rasyid Idris, terbitan Liblitera Institute, Februari 2018.
Sebentuk preposisi untuk memberi apreasiasi tinggi pada cerita, pada kisah, pada apa yang telah berperan penting merawat ingatan dan menepis lupa. Dari cerita, dari kisah-lah, kita dapat membayangkan kenyataan pada lalu, masa kini dan masa depan. Dari sana pula kita mengendapkan makna dan nilai untuk memperkaya kehidupan.Â
Dalam cerpen berjudul sama dengan judul kumpulan ini, Rasyid Idris menceritakan sepasang anak manusia berjumpa pada sebuah anasir abadi dalam kehidupan, cinta. Cinta yang seperti kita tahu, bisa "menimpa" siapa saja dan dalam keadaan apa saja dengan akibat-akibat yang tak jarang dipuncaki tragedi. Dalam kisah ini, Ko Ke Leng seorang pemuda peranakan biasa jatuh cinta kepada Memey, gadis peranakan biasa.
Keduanya anak manusia biasa dalam arti berstatus sosial seperti orang kebanyakan. Pembedanya ialah bahwa mereka ada anak-anak keturunan Tionghoa Makassar. Suatu waktu, Ko Ke Leng terpesona pada Memey yang dilihatnya sedang sembahyang di Klenteng tempatnya berlatih liong-barongsai.Â
Jatuh cinta dan berkenalan tidak dengan cara seperti kisah-kisah platonik yang kerap kita baca. Tidak juga terkesan dramatis dengan dengan deskripsi suara batin yang menggebu. Tapi saya menyebutnya jatuh cinta khas Makassar, sebab hanya menatap, berkenalan, berteman, saling memperkenalkan keluarga dan kemudian berpisah jarak. Memey akhirnya pergi melanjutkan studi ke Singapura dan Ko Ko Leng pun melepaskanya untuk kembali.Â
Yang justru amat menarik dari cerita Rasyid Idris dalam kumpulan ini ialah setting dan sampiran-sampiran yang dipakainya dalam membungkus cerita. Dalam kisah Memey dan Ko Ke Leng di atas, misalnya, kita akan dibawa ke lanskap kehidupan anak muda Tionghoa di Makassar, kehidupan kelenteng, barongsai, Kun Taw, silat khas daerah ini yang diajarkan di kelenteng oleh suhu dan tentu saja lukisan tentang keluarga Tionghoa biasa. Bukan keluarga Tionghoa yang umumnya hidup berkelimpahan dan kerap dipandang sebagai pemicu kecemburuan sosial.Â
Inilah yang khas Rasyid Idris dengan cerita-ceritanya. Kita dibawa ke lanskap kehidupan sosial kalangan biasa, mereka yang menjalani kehidupan pada lapisan sosial bawah dengan segenap pergulatan dan kesahajaannya. Tak ada tendensi dramatis dalam cerita-ceritanya, seolah ingin mengesankan bahwa hidup adalah sesuatu yang harus diterima dan dijalani apa adanya, termasuk bencana dan keberuntungan.Â
Rentang latar 25 cerpen dalam himpunan ini pun mengesankan betapa Rasyid adalah seorang yang jeli pengamatan dan kaya pengalaman, sesuatu yang diserapnya dari berbagai tempat dan keadaan dalam perjalannya sebagai seorang yang bekerja di akar rumput bersama masyarakat. Sebagai penulis cerita, Rasyid telah menggunakan mata penanya untuk melukis lanskap, membawa kita ke tempat-tempat dan keadaan yang belum kita ketahui, menyarankan sikap dan cara mengolah kehidupan dan mendorong imajinasi kita bekerja berdasar kabar dan cerita-ceritanya yang bersahaja. Cerita-cerita yang oleh Sawedi Muhammad dalam pengantarnya disebut sebagai Catatan Seorang Pejalan.Â