Mohon tunggu...
Ami Ibrahim
Ami Ibrahim Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengalami Indonesia

3 April 2018   16:40 Diperbarui: 3 April 2018   18:11 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

catatan:
naskah ini adalah naskah lama.
semoga masih relevan dan bermanfaat.

Sebuah Pidato untuk acara Minggu Tenang
Rumata' Art Space, Makassar
Minggu, 6 April 2014

Saudara-saudara yang terhormat.

Pertama-tama, marilah kita bersyukur atas karunia yang dilimpahkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, karunia waktu, kesehatan, kekuatan dan tentu saja karunia Indonesia yang telah menjadi penanda penting keberadaan kita di atas bumi Allah ini.

Bagi sebagian besar orang, Indonesia mungkin" tidaklah penting-penting amat, atau mungkin hanya "apaan-sih", sekadar "ya gitu deh", tetapi bagi sebagian besar orang lainnya, terutama saudara-saudara kita yang disebut TKI, Indonesia adalah sesuatu yang sungguh sangat penting karena melekat dalam label kemanusiaan mereka, bahkan lebih jauh, bagi hidup mati mereka di negeri-negeri yang jauh. Indonesia bagi mereka tidak hanya sekadar identitas.

Atau bagi sebagian warga desa Binanga Benteng, Kecamatan Bonto Sikuyu, Kabupaten Selayar, yang kakek buyut mereka pernah disapu rata dengan stigma-merah, pendukung partai terlarang, lebih karena mereka bermula sebagai pemeluk teguh keyakinan lama, pra-islam, dan dalam huru hara politik partai pada pemilu tahun 1955 terprovokasi menjadi pemilih partai berlambang palu dan arit. 

Dan seusai pemerintahan Soekarno, mereka yang lolos dari penangkapan dan pemenjaraan, anak cucu dan kerabat mereka, harus setia melapor ke Kodim setempat di Benteng Selayar dan mungkin terpaksa menjadi Islam; Bagi mereka, Indonesia adalah Islam, meski mereka tidak bersembahyang lima waktu dan senantiasa menjadi sasaran dakwah kader-kader Muhammadiyah. Atau kalau tidak, mereka adalah Nasrani, karena dengan terpaksa, harus memilih agama, mengganti keyakinan spiritual asli mereka dan menjadi anggota Parkindo dan belakangan menjadi NU.

Indonesia juga menjadi persoalan hidup mati bagi tentara lapangan yang sungguh masih remaja belia, baru tamat dari lembah gunung Tidar, sekolah ketentaraan, dan memperoleh tugas awal di Papua, Aceh atau bahkan di Sidoarjo yang lebih dekat, karena bagi mereka Indonesia adalah sebuah doktrin untuk sebuah kiblat profesional mereka, meski mungkin lebih disebabkan kepatuhan kepada ayat-ayat Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.

Dan bagi kita di sini, malam ini, pentingkah Indonesia itu? Apakah Indonesia bagi kita? Seperti apakah Indonesia yang kita sadari, yang kita alami?

Saudara-saudara.

Indonesia bagi sejumlah ahli disebut sebagai sebuah komunitas-terbayangkan, sebuah entitas yang penjadiannya nyaris permanen sehingga senantiasa berada dalam proses pembentukan, juga pendefinisian. Ada yang menyebut apa yang berlangsung dalam altar nusantara ini, adalah proses berkesinambungan menuju Indonesia. Dengan begitu, Indonesia bukan sebagai sebuah proyek yang sudah final.

Bagi sebagian ahli lain, Indonesia dipandang sebagai identitas-tunggal untuk kita semua yang mendiami pulau-pulau indah di sisi Samudera Hindia dan Pasifik ini, yang dalam penyelenggaraan administratifnya disatukan dalam sebuah komitmen kebangsaan dan kenegaraan, nation-state, melalui prosedur kesejarahan yang panjang, sehingga nation-state sebelumnya yang amat banyak itu, melebur diri di dalamnya dan sukarela menerima pasrah hanya disebut sebagai suku-bangsa. 

Menjadi Indonesia dalam hal ini adalah meraih identitas dan substansi baru pelaksanaan kehidupan, dengan menurunkan keaslian darah kita ke level kedua. Kita lahir sebagai Makassar, tetapi kita dibentuk atau terbentuk menjadi Indonesia tanpa perlu menunggu akil balik lantaran kita adalah peserta dari proyek besar bernama Indonesia.

Persoalannya kemudian ialah, seperti apa rupa kesadaran bolak-balik dinamis antara kodrat kelahiran kita itu dengan bentukan Indonesia yang prosesnya tak dapat ditolak itu?

Saudara-saudara.

Menjawab pertanyaan itu, dalam praksis kehidupan sehari-hari, kita tentu akan mengalami banyak guncangan. Dalam tindak berbahasa, misalnya, kita mengalami prosedur terbalik dimana bahasa ibu, tanpa sadar telah menjadi bahasa asing atau hanya sekadar bahasa masa kanak-kanak karena kita harus menggunakan bahasa Indonesia untuk meresepsi beragam konsep fundamental pertumbuhan kemanusiaan kita. Itu hanya salah satu contoh. 

Namun di sini pulalah seluruh penggenap kemanusiaan kita mengalami pembentukan, peluruhan, transformasi, mutasi, dinamika dan seterusnya yang menerbitkan berbagai bentuk tragedi dan komedi. Perjalanan karir profesional kita pun tak luput dari anasir yang kita sebut identitas itu. Ketika kamu Bugis, misalnya, kamu tak akan bisa menempati posisi Manager pada perusahaan milik orang non pribumi, misalnya.

Keberhasilan kita menjadikan Bahasa Indonesia sebagai perekat keindonesiaan itu, katakan saja begitu, adalah salah satu contoh keberhasilan yang luar biasa dalam pembentukan Indonesia itu. Di lipatan kesadaran kita semua, terutama yang lahir pada dekade-dekade Orde Baru, kita pasti mengenal Budi dan Wati, yang sudah dipastikan Jawa, dalam preposisi Ini Budi, Ini Ibu Budi, pada pelajaran Sekolah Dasar kita. Heroisme kita kemudian terbentuk dalam peta bumi sejarah nasional yang penuh darah dan air mata, darah dan doa, yang kita kenali melalui gambar-gambar pahlawan yang sungguh tak dikenal di ruang kelas SD Inpres kita dahulu. 

Sesuatu yang agak komidikal sebenarnya, karena kita senantiasa membayangkan Hasanuddin sebagai seorang brewok dengan mata melotot berdestar tinggi, sebuah stilisasi atas keberanian dan kegarangan yang diletakkan dalam perspektif perang berdarah mempertahankan Kerajaan Gowa dan Benteng-Bentengnya yang kosmopolit pada abad ke 17 lalu. Nyaris tak pernah terlintas dalam benak kita bahwa I Mallombassi Daeng Mattawang adalah manusia Makassar yang mungkin juga memiliki citarasa lain selain membunuh musuh-musuh, misalnya sebagai seorang penggemar royong dan ikut mendesain upacara panen raya di Kanrebosi dan nanar menikmati liukan tubuh Pakarena I Bulo Mabassung Daeng Talebang, salah seorang keponakan yang cantik, dalam upacara kenegaraan yang meriah pada abad-abad itu.

Sejarah, sebagai proses abadi pertumbuan dan peluruhan, mengikuti postulat dalam evolusi dan hukum-hukum kemutlakan perubahan sosial bernama revolusi, telah merontokkan begitu banyak unsur dan narasi lama, menggantikannya dengan anasir dan narasi baru yang menjadi latar dan alas bagi kesadaran kebangsaan kita, hingga kita kemudian bisa tiba pada apa yang kita sadari hari ini sebagai Indonesia.

Saudara-saudara.

Terangkum dalam wacana Indonesia sebagaimana digambarkan, kita agaknya tak kuasa untuk menolak keikutsertaan kesadaran kita dalam proyek-proyek bawahan dari pembentukan dan atau menuju Indonesia itu. Keikutsertaan kesadaran yang saya maksud adalah resepsi dan responsi dalam proses pembentukan persepsi, sesuatu yang menjadi alas bagi tindakan-tindakan kita dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua kita menyadari bahwa hari-hari ini kita dilibat oleh peristiwa pemilihan umum. Sebuah peristiwa moderen di bawah plat-form sistim pengelolaan kehidupan bersama bernama demokrasi. 

Sama dengan iOS dan Android, plat-form itu nyaris tak dapat kita tolak, tidak sekadar untuk menjadi sarana komunikasi, melainkan menjadi sarana bagi kelanjutan kehidupan kebangsaan. Kita sebagai warga nyaris tak punya otoritas apapun menolak dan hanya harus menerima 15 Partai Politik, tiga sampai lima calon presiden, puluhan sampai ratusan calon wakil-wakil untuk mengurus dan mengelola kepentingan kita. 

Kita sungguh tak kuasa menolak kehadiran semua itu dalam kekesadaran kita, bahkan mungkin sebagian dari kita menjadi peserta aktif dalam konstentasi itu. Ketika seorang kawan bahkan dengan sadar bermasa-bodoh dalam ruang lingkup itu, dia sesungguhnya adalah seorang peserta yang aktif. Dan Indonesia, baginya, nyata sebagai pengalaman. 

Mengalami Indonesia, melalui pemilu, akhirnya merupakan stimulasi yang amat menekan dan sungguh sangat jauh dari wacana pembebasan.  Ini mungkin karena kita tak sanggup menolak jalan raya atau negara, mall atau pasar, televisi atau media massa. Kehidupan moderen memang tak akan dapat lepas dari Tri Tunggal negara, pasar dan media massa, kata para ahli. Dan ketika Tri Tunggal itu kemudian melebur dalam tindak massif bernama General Election yang dalam bahasa Orde Baru disebut sebagai "pesta", siapa yang akan bisa mengelak?

Saudara-saudara

Ini adalah minggu tenang. Mungkin untuk mendorong kita menciptakan sejenak sunyi dalam diri kita, mengendapkan pengalaman keindonesiaan kita masing-masing, dengan harapan kita dapat jernih menentukan pilihan. Memang kita tak dapat mengelak dari prosedur mutlak demokrasi itu, memang. Tetapi mari kita menentukan pilihan melalui jalur lain yang disediakan kemanusiaan kita yang paling azali, jalur keindahan.

Pandanglah gambar-gambar caleg itu, baca slogan-slogan mereka, saksikan selintas advertensi televisi mereka dan  engkau akan tiba pada titik tertinggi tragedi yaitu komedi. Engkau akan tiba pada ekstase puitik, dimana makna akan menyembul dari ruang jenuh kesemrawutan, entropi yang akan mengantar chaos lalu menerbitkan makna. 

Terserah dengan cara apa. Tetapi bolehlah dicoba cara kawan saya: menyanyi. Mengapa? Di dalam nyanyi, engkau tak hanya menjadi transmitter ketukan, nada, jeda, bunyi, tetapi engkau lebur dalam gelombang penurun tekanan, peredaan desakan gegas hasrat dan galau, lalu engkau tersambung dengan lirik. Nyanyikanlah Indonesia tanah air mata, tanah tumpah dukaku, mata air air mata kami.

Ada juga teman memilih jalan puisi. Jalan sublimasi seluruh kesadaran melalui sulur kata-kata, jalan meringkus semesta pengalaman dalam pilihan kata, dimana pembentukan dan peluruhan menyatu, membentuk pendar-pendar alternatif resepsi, prasaran bagi ketenangan renungan, tapa senyap dalam rengkuhan keindahan.

Tetapi di dalam nyanyi dan puisi, pada minggu tenang ini, dimanakah letak Indonesia.


POST SCRIPTUM IBU PERTIWI


sebilah angin menampar wilayah dalamku
adalah wajahmu yang terbit menghantar
sisa fajar menitiskan matahari
 
di tebing mana aku mesti berpijak
menangkal turunnya senja
agar tersedia waktu bagi pelayaran
menahan laju kesangsian
agar tercipta ruang yang memadat
titian bagi cinta melata ke kenyataan
 
(padahal belum kubasuh tangan yang memenggal
almanak kala kelembutan jamahan hatimu
membelai wilayah rahasiaku)
 
o, anak matahari kiriman langit
putri sulung sang kesucian
geliat samudera remajamu
(pada gelombang dadamu yang subur)
hamparan langit kemudaanmu
(pada bau napasmu yang jujur)
membalur bumi ketakberdayaanku
mengguratkan tanda tangan
di selembar surat cinta
 
 Makassar, 6.06.94

Sekian dan terima kasih.

Makassar, 6 April 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun