Mohon tunggu...
Ami Ibrahim
Ami Ibrahim Mohon Tunggu... -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengalami Indonesia

3 April 2018   16:40 Diperbarui: 3 April 2018   18:11 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sama dengan iOS dan Android, plat-form itu nyaris tak dapat kita tolak, tidak sekadar untuk menjadi sarana komunikasi, melainkan menjadi sarana bagi kelanjutan kehidupan kebangsaan. Kita sebagai warga nyaris tak punya otoritas apapun menolak dan hanya harus menerima 15 Partai Politik, tiga sampai lima calon presiden, puluhan sampai ratusan calon wakil-wakil untuk mengurus dan mengelola kepentingan kita. 

Kita sungguh tak kuasa menolak kehadiran semua itu dalam kekesadaran kita, bahkan mungkin sebagian dari kita menjadi peserta aktif dalam konstentasi itu. Ketika seorang kawan bahkan dengan sadar bermasa-bodoh dalam ruang lingkup itu, dia sesungguhnya adalah seorang peserta yang aktif. Dan Indonesia, baginya, nyata sebagai pengalaman. 

Mengalami Indonesia, melalui pemilu, akhirnya merupakan stimulasi yang amat menekan dan sungguh sangat jauh dari wacana pembebasan.  Ini mungkin karena kita tak sanggup menolak jalan raya atau negara, mall atau pasar, televisi atau media massa. Kehidupan moderen memang tak akan dapat lepas dari Tri Tunggal negara, pasar dan media massa, kata para ahli. Dan ketika Tri Tunggal itu kemudian melebur dalam tindak massif bernama General Election yang dalam bahasa Orde Baru disebut sebagai "pesta", siapa yang akan bisa mengelak?

Saudara-saudara

Ini adalah minggu tenang. Mungkin untuk mendorong kita menciptakan sejenak sunyi dalam diri kita, mengendapkan pengalaman keindonesiaan kita masing-masing, dengan harapan kita dapat jernih menentukan pilihan. Memang kita tak dapat mengelak dari prosedur mutlak demokrasi itu, memang. Tetapi mari kita menentukan pilihan melalui jalur lain yang disediakan kemanusiaan kita yang paling azali, jalur keindahan.

Pandanglah gambar-gambar caleg itu, baca slogan-slogan mereka, saksikan selintas advertensi televisi mereka dan  engkau akan tiba pada titik tertinggi tragedi yaitu komedi. Engkau akan tiba pada ekstase puitik, dimana makna akan menyembul dari ruang jenuh kesemrawutan, entropi yang akan mengantar chaos lalu menerbitkan makna. 

Terserah dengan cara apa. Tetapi bolehlah dicoba cara kawan saya: menyanyi. Mengapa? Di dalam nyanyi, engkau tak hanya menjadi transmitter ketukan, nada, jeda, bunyi, tetapi engkau lebur dalam gelombang penurun tekanan, peredaan desakan gegas hasrat dan galau, lalu engkau tersambung dengan lirik. Nyanyikanlah Indonesia tanah air mata, tanah tumpah dukaku, mata air air mata kami.

Ada juga teman memilih jalan puisi. Jalan sublimasi seluruh kesadaran melalui sulur kata-kata, jalan meringkus semesta pengalaman dalam pilihan kata, dimana pembentukan dan peluruhan menyatu, membentuk pendar-pendar alternatif resepsi, prasaran bagi ketenangan renungan, tapa senyap dalam rengkuhan keindahan.

Tetapi di dalam nyanyi dan puisi, pada minggu tenang ini, dimanakah letak Indonesia.


POST SCRIPTUM IBU PERTIWI


sebilah angin menampar wilayah dalamku
adalah wajahmu yang terbit menghantar
sisa fajar menitiskan matahari
 
di tebing mana aku mesti berpijak
menangkal turunnya senja
agar tersedia waktu bagi pelayaran
menahan laju kesangsian
agar tercipta ruang yang memadat
titian bagi cinta melata ke kenyataan
 
(padahal belum kubasuh tangan yang memenggal
almanak kala kelembutan jamahan hatimu
membelai wilayah rahasiaku)
 
o, anak matahari kiriman langit
putri sulung sang kesucian
geliat samudera remajamu
(pada gelombang dadamu yang subur)
hamparan langit kemudaanmu
(pada bau napasmu yang jujur)
membalur bumi ketakberdayaanku
mengguratkan tanda tangan
di selembar surat cinta
 
 Makassar, 6.06.94

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun