tulisan lama, mungkin masih relevan, masih bisa berguna.
Adakah kemungkinan puisi dalam politik?
Bila politik dipandang sebagai sebuah teks yang berisi tindakan dalam meraih dan mempertahankan kuasa, maka yang paling mungkin baginya adalah prosa. Di dalamnya terangkum deskripsi langkah-langkah (strategi, taktik), formulasi hasil yang diinginkan (tujuan) dan ada aktor yang bermain. Sebagai prosa, politik mengandalkan bahasa, tetapi bahasa hanya dipergunakan dalam posisinya yang paling fungsional: sebagai penyampai maksud.Â
Dalam memperlakukan bahasa, politik mengelolanya dalam retorika, dimana bangunan makna yang ditransmisikan adalah paket yang sudah final. Di dalam politik tidak tersedia ruang untuk interpretasi bebas.Â
Publik (pembaca) hanya diberi ruang untuk menerima cerita yang sudah jadi untuk disikapi. Dengan demikian, retorika sebagai salah satu cabang dan praktik pengetahuan, menjadi instrumen sangat penting dalam politik. Retorika adalah alat pemaksa yang didayagunakan untuk menyampaikan agenda, menggulirkan taktik dalam kerangka strategi, dan untuk pengolahan komunikatifnya.Â
Retorika juga lebih bernuansa prosa sehingga ketika didayagunakan publik tinggal menerima atau menolak.Â
Sudah sejak Aristoteles, puisi dipandang sebagai dunia kemungkinan-kemungkinan, sementara sejak Bismark, politik dianggap sebagai seni kemungkinan. Pada puisi, bahasa dikelola melalui penggalian, pemilahan, pertimbangan dan dibiarkan bebas bersama rasa dan bunyi yang disarankannya untuk membentuk dunia.Â
Sementara itu, bahasa dalam politik telah dibakukan dalam satu tujuan tunggal dimana pemilahan dan pertimbangan yang dilakukan hanya untuk pengaruh singular. Dalam puisi ruang interpretasi inheren sebagai bangunan pembentuknya, sementara dalam politik, interpretasi tunggallah yang menjadi maksud digunakannya.
Ketika publik disuguhi jargon dan slogan politik, misalnya, pertama-tama publik tidak akan peduli, karena di hadapan jargon dan slogan, secara alamiah, publik terposisikan hanya sebagai penerima pasif.Â
Tidak tersedia ruang demokratik baginya untuk mengembangkan tafsir dan membangun dunia pemahamannya sendiri yang, misalnya, bisa berbeda atau bertentangan. Disinilah dituntut kehati-hatian berbahasa bagi para politisi, karena publik memiliki kehendak alamiah untuk membangun cerita berdasar persepsi bebasnya sendiri.Â
Dalam posisi demikian, hanya retorikalah yang akan mengambil peran dan menjadi penolong bagi politisi. Karena didalam retorika, makna-makna dikemas sebagai sebuah paket baku atau paket selesai, untuk dipergunakan dalam menggiring persetujuan dan dukungan. Â