Ara adalah anak remaja yang tidak terlalu suka bermain diluar rumah. Bahkan jarang sekali berinteraksi dengan tetangga. Lebih banyak berdiam diri di kamar asyik dengan gadget dan media sosial.Â
Apalagi di masa pandemi ini sungguh tidak ada masalah baginya untuk tetap berdiam diri di rumah saja. Ia tinggal di rumah keluarga berdua saja dengan ibunya sementara kakaknya tinggal di luar kota.
Suatu hari Ara mengeluh tidak nyaman saat menarik nafas. Kekhawatiran akan terpapar virus Covid-19 membuat Ara gelisah. Tapi sang Ibu menenangkan dan bilang itu hanya karena Ara kurang bergerak dan olahraga.Â
Berat badan Ara memang agak naik sejak tidak lagi pergi ke sekolah. Informasi tentang Covid-19 rupanya membuat Ara cemas terlebih lagi atas kedatangan keluarga dari Bekasi beberapa Minggu sebelumnya.
Dua hari dari keluhan pertamanya Ara kembali meminta ibunya mengantarkan ke dokter. Karena suhu tubuhnya meningkat akhirnya ibunya setuju membawanya ke klinik kesehatan esok paginya.Â
Di klinik Ara memaksa untuk melakukan rapid test Covid-19. Dia benar-benar khawatir salah diagnosis hanya dikira demam biasa. Untuk memastikan Ara aman dari Covid-19 dan membuatnya lebih tenang akhirnya diambilah sampel darah Ara dan tidak menunggu lama hasil rapid pun keluar.
Betapa terkejutnya Ibunya ketika diperlihatkan hasil rapid test Ara reaktif walaupun garis yang kedua terlihat samar. Perawat yang menangani meminta Ara dan ibunya untuk melapor ke puskesmas terdekat. Berharap hasil rapid dianggap non reaktif karena samar dan untuk mematuhi prosedur penanganan Covid-19 pergilah mereka ke puskesmas menemui petugas gugus tugas Covid-19.
Melihat hasil rapid Ara, petugas di puskesmas pun menyatakan kalau hasil rapid Ara reaktif. Petugas yang ramah itu juga menanyakan riwayat perjalanan Ara.Â
Ternyata dua hari sebelumnya Ara pernah pergi ke Pringsewu yang saat itu sudah masuk zona merah. Petugas menyarankan Ara untuk isolasi dan Ara memilih melakukan isolasi mandiri di rumah selama 14 hari.
Sepulang dari puskesmas ibu Ara memutuskan untuk melapor ke gugus tugas Covid-19 yang ada di desa mereka. Saat itu kepala desa sedang tidak berada di tempat, hanya perangkat desa dan petugas Covid-19 yang ada. Setelah selesai melapor Ara dan ibunya pulang. Bersiap melakukan isolasi mandiri.
Baru beberapa jam di rumah, kepala desa datang ke rumah Ara untuk memastikan laporan yang ia dengar dari perangkat desa. Ibu Ara mengiyakan. Pak Kades juga menanyakan riwayat kesehatan dan perjalanan Ara dan apa saja gejala yang Ara rasakan.Â
Lalu berpesan agar Ara benar-benar diawasi. Jangan keluar rumah, jangan berinteraksi dengan siapapun, rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, dan perhatikan gejala lanjutan seperti kehilangan indera penciuman dan perasa. Pak Kakon masih berharap hasil rapid test Ara bukanlah gejala covid seperti yang dikhawatirkan.
Hasil rapid test Covid-19 reaktif bukanlah sebuah malapetaka. Rapid test sebagai alat screening awal untuk mendeteksi Covid-19 bukanlah penentu seseorang positif atau negatif corona.Â
Tes ini dilakukan hanya untuk melihat keberadaan antibodi di dalam tubuh yang bisa menjadi dugaan awal bahwa seseorang positif Covid-19. Itulah yang membuat Ibu Ara tetap tenang dan Ara sama sekali tidak keberatan untuk melakukan isolasi mandiri untuk memutuskan mata rantai penularan Covid-19.
Hanya saja tidak semua masyarakat berpikir seperti itu. Dalam hitungan jam kabar tentang hasil rapid test Ara menyebar sampai ke desa tetangga. Ketakutan merayapi masyarakat. Hanya ketakutan tapi tetap menganggap sepele protokol kesehatan. Masih mengabaikan penggunaan masker, masih berkumpul di keramaian, dan malas mencuci tangan.Â
Ketakutan masyarakat hanya sampai di bahan pergunjingan saja seolah-olah hasil rapid test reaktif adalah aib. Sehingga Ara merasa risih ketika tahu Ia jadi bahan gunjingan.Â
Untungnya ibu Ara bisa memberikan penjelasan kepada Ara untuk tidak mengindahkan tetangga yang bergunjing hingga Ara bisa lebih tenang. Tapi reaksi masyarakat terhadap hasil reaktif rapid test seseorang membuat masyarakat menjadi segan melakukan rapid test.
Untuk rapid test sendiri kita perlu merogoh kocek antara 150--175 ribu rupiah, tapi saat ada event rapid test massal gratis yang diadakan pemerintah daerah malah bisa di bilang sepi pengunjung. Masyarakat merasa segan bahkan takut untuk di rapid test.
Ara selesai melakukan isolasi mandiri selama 14 hari. Di minggu pertama keadaan Ara selalu dipantau setiap hari oleh bidan desa dan pemerintah desa. Ibu Ara merasa berterima kasih atas perhatian mereka walau hanya lewat telepon menanyakan keadaan Ara.Â
Apakah ada gejala lanjutan yang dirasakan Ara. Ternyata di hari kedua, ketiga sampai hari ke 14, keadaan Ara baik-baik saja, sehat, bugar, dan sudah bisa bernafas dengan nyaman.
Ketika Ara sudah terlihat keluar rumah lagi para tetangga ikut lega. Ternyata Ara tidak kena Corona. Tapi kabar hasil rapid test Ara yang reaktif tetap jadi bahan gunjingan dan sempat menimbulkan keresahan di masyarakat.Â
Sepertinya masih butuh sosialisasi di masyarakat tentang rapid test dan bagaimana memperlakukan orang yang hasil rapid testnya reaktif. Terpapar Corona bukanlah aib.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H