Mohon tunggu...
AMI MUSTAFA
AMI MUSTAFA Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Apalah apalah, jangan ribet! aku sendiri sudah cukup ribet orangnya

Nulis suka-suka, tema suka-suka, konsistensi suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Arinam Binti Zakaria

16 November 2020   19:07 Diperbarui: 17 November 2020   02:36 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku memanggilnya Umeh, sama seperti semua cucu menyebutnya. Sedangkan Mamahku memanggilnya Ndok. Sementara kakak-kakak ipar Mamah memanggilnya Umak.

Perempuan tua dengan tubuh bungkuknya yang kurus dan sebelah matanya yang cacat. Tubuh dan mata yang menjadi simbol kegigihan dan keuletannya. Namanya Arinam binti Zakaria. 

"Umeh, bisakah kau berjalan tanpa membungkukkan tubuhmu?" tanyaku dulu saat masih kecil. 

Umeh tertawa sambil berusaha meluruskan pinggangnya. Tapi tetap saja tak bisa benar-benar lurus.

"Sakit, umeh sudah terlalu lama membungkuk jadi sulit diluruskan lagi" katanya.

Umeh seorang petani yang rajin. Dia menyiangj rumput dengan sabit yang membuatnya lebih banyak duduk mencangkung atau  menggunakan cangkul yang membuatnya harus banyak membungkuk. Itulah yang menyebabkan lama kelamaan tubuhnya jadi bungkuk. Perihal matanya yang cacat, Umeh bilang itu disebabkan terkait dan tertusuk ranting kopi. 

Di masa tuanya Umeh menghabiskan waktunya dengan belajar mengaji. Sebuah sesalan baginya karena sewaktu muda tak punya banyak kesempatan untuk belajar mengaji. 

Sebagai anak yatim yang miskin pada jamannya, belajar adalah sebuah kemewahan yang tak terjangkau bagi Umeh. Karena selain harus bekerja Umeh juga kerap kali mengalami diskriminasi dari keluarga dan lingkungan. 

Tapi hal itu pula yang memacunya bekerja keras hingga akhirnya merubah kehidupan ekonominya menjadi lebih baik di masa tua. Umeh menikahi lelaki yang juga anak yatim-piatu dan miskin. Kesamaan nasib dan visi membuat mereka termotivasi hingga bisa mewariskan harta benda untuk anak cucu mereka.

Nah, untuk urusan belajar mengaji ini jadi kenangan tersendiri juga buatku. Beliau kan sudah sangat kurang pendengarannya. Sementara aku salah satunya yang termasuk punya banyak waktu bersamanya, jadilah aku yang paling sering kena tembak untuk mengajari Umeh mengaji. Ingat pelawak Bolot?

Coba bayangkan kalian mengajari pelawak Bolot mengaji. Ya ampuuun, capek suara capek hati mendongkol. Maklum aku kan masih kanak-kanak waktu itu jadi kurang sabar. Kadang aku mesti teriak-teriak kesal dan kadang hampir menangis. Belum lagi kalau di luar teman-teman sudah memanggil mengajak bermain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun