Mohon tunggu...
Afira
Afira Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Masih belajar caranya belajar

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

AH...!

30 Juli 2015   12:34 Diperbarui: 11 Agustus 2015   23:29 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Kami sekeluarga duduk berlima di ruang tengah, tv dibiarkan menyala sedang lampu menerangi tidak sepenuhnya. Pintu tengah sengaja di buka, agar asap rokok mudah ditelan angin malam.

Kesal aku! Bapak tetap saja setia pada rokoknya. Padahal telah banyak kesakitan yang menimpanya. Giginya kuning, dan matanya seperti kehilangan sinar. Aku tidak bisa terima kalau bapak telah renta, usianya belum juga setengah abad. Aku masih butuh banyak suntikan, sekolahku belum selesai, perjalanan adikku masih panjang, dan langkah abangku belum sampai.

Kemudian pandanganku beralih pada ibu, aku tidak tega ketika melihat ibu bersama sarungnya.Aku perhatikan Perempuan-perempuan seusianya lebih memilih menukaar uangnya dengan kesenangan, berupa perhiasan atau mungkin pakaian pengikut zaman.

Sedang Ibuku ? tetap setia dengan sarungnya dan menyimpan hampir semua kekayaan dalam tabungan bernama pendidikan.

“ Tidak usah peduli keadaan Ibu, yang penting kalian bisa sekolah”
ujar Ibu sambil mengusap rambut si bungsu.

Aku adalah anak kedua yang merasa paling berdosa. Tidak pernah menjadi jembatan diantaranya anak-anaknya. Kemudian Bapak berkata :

“Dan jangan banyak menuntut, bisa makan sehari tiga kali pun kita harus bersyukur”

“Tapi aku hanya akan bersyukur kalau bapak berhenti merokok” Aku berfatwa tanpa ampun.

Suasana menjadi hening, bapak makin menikmati asap rokonya, kami saling diam, kebingungan, terlalu banyak isi kepala yang mengganjal sampai-sampai lupa  darimana pembicaraan harus dimulai. Kemudian aku perhatikan abangku, dia yang akan menjadi tulang disini. Abang sibuk membolak-balik buku dan sesekali memarahi laptopnya. Mungkin abang kelelahan mengejar skripsi yang baru sampai pada bab pertama.

“Bagaimana nasib mobil kita pak? Kalau malam ini tidak pulang, berarti satu bulan lebih mobil itu di tangan orang” Abang merebut pertanyaan yang telah aku siapkan sejak tadi.

“ya Pak, kepulangannku ini sebenarnya karena itu, aku mendapat kabar dari adik, katanya mobil kita hampir jatuh di tangan orang, benar itu pak?”

“Tidak, mobil kita hanya di pinjam pak Amin, rekan Bapak”

“Pak Amin warga kampung sebelah? Aku dengar dia pernah meminjam mobil warga sana? pinjam seminggu, sampai mobilnya hilang”

“Ah Bapak terlalu baik, mobil itu kalau direntalkan sudah dapat uang banyak kita pak” Protes adikku.

“Bagi ibu tidak masalah, kalaupun uang rentalnya tidak dibayar, yang penting mobil itu bisa pulang secepatnya. Kalian tahu kan bagaimana pengorbanan kita terhadap mobil itu?”

“ Ingat nak, Tuhan tidak pernah kehabisan akal agar manusia mau mengakali setiap permasalahan dalam hidupnya. Dengar, bapak akan ceritkan keaadaan kita saat ini. Usaha bapak boleh dibilang sedang surut. Ya t\Tuhan tengah menguji sejauh mana kekuatan kita untuk bersabar. Kita tahu, satu mobil kita masih di bengkel, mesinnya rusak parah, sekarang sudah bisa dibawa pulang tapi harus ditebus dengan uang tujuh juta ? darimana bapak punya uang? Mobil satu lagi, ini yang paling parah, digadaikan oleh wa diman. Dan bapak tidak berharap banyak. Wa Diman terlalu banyak hutangnya. Tipis harapan dia bisa menebus mobil kita”

            “Lagi-lagi ulah Wa Diman?? ” emosiku memuncak.

            “Istighfar nak…” Ibu berusaha menenangkan

            Kemudian aku menarik napas sambil mengucap istighfar, tidak habis pikir dengan saudara bapak yang satu itu, selalu menjadi penyebab kekacauan ekonomi keluarga kami. Aku masih ingat, dulu, sertifikat rumahku mau dijadikan jaminan hutangnya, gila! Dan anehnya bapak tidak menolak, aneh.

Kenapa kamu sedih? Sudahlah, kejadian-kejadian yang kamu lihat sedikitpun tidak mempengaruhi hidupmu. Lihatlah senyum keruput ibu dan wajah lelah bapa. Mereka tetap berkeringat demi menopang langkahmu. Bangkitlah, dan kejar mimpimu. Jangan racuni otakmu dengan yang tidak-tidak. Tak usah hiraukan kepunyaanmu yang hilang, itu sekedar titipan Tuhan. Ingatlah, jangan biarkan harta menghentikanmu. Pilihanmu hanya dua, bangkit atau mati"

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun