Mohon tunggu...
Afira
Afira Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Masih belajar caranya belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titik Sunyi

29 Oktober 2012   13:39 Diperbarui: 13 Februari 2016   15:49 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ya,ya,ya, kalau aku pergi sama artinya dengan mati. Beban yang orang tua keluarkan tidak ada artinya kalau aku hanya pergi untuk kuliah. Mereka tidak hanya membiayai kuliahku, mereka juga telah membayar beban agar aku bisa hidup. Jadi, tugasku bukan hanya mencari ilmu di bangku kuliah, tapi menyelami juga setiap ilmu dalam kehidupan, iya kan?

Aku terjebak dalam kegiatan yang tidak aku sukai. Tergabung dalam organisasi tanpa visi. Kalau kata Minke, aku seperti monyet yang salah masuk kandang. Aku lebih banyak diam dalam perkumpulan itu, karena bersuarapun tiada artinya. Segala usaha untuk memperbaiki selalu kalah oleh hasrat manusia yang ingin eksis. Sebenarnya titik jenuhku telah sampai, aku tidak rasai ada kenyamanan bersama mereka. Tapi aku tidak boleh lari. Dan kali ini aku mulai bisa bernegosiasi dengan diri.  Mau tidak mau aku harus selesaikan apa yang telah aku mulai. Aku harus menikmatinya seperti yang ibu katakan. Aku tidak usah memikirkan kepunyaanku yang hilang. Biarlah, toh aku tetap bisa makan sehari tiga kali, dan kuliahku tetap berjalan walau semester ini belum dibayar lancar. Aku harus bangkit, ketidaknyamanan ini adalah bagian dari kehidupan.

"Tuhkan, apa kataku, masalah itu tak sedikitpun mempengaruhi hidupmu. Aku percaya, orang tuamu sosok pekerja keras, apapun yang terjadi mereka tidak akan membiarkan anaknya berhenti kuliah, Kamu harus bangkit dan berjuang! Mereka tidak mengharap lebih darimu, selain melihatmu menjadi pribadi yang berguna untuk agama, keluarga, nusa dan bangsa. Jangan menyerah, Ada jutaan orang menantimu! " Hati memang yang paling mengerti. Ia selalu menenangkan di setiap kejadian.

Aku lihat jarum jam bertengger di angka dua, ini sudah lebih dari larut. Sedikit demi sedikit aku sudah mulai berdamai dengan diri, tinggal aku urusi isi pikiranku ini. "Pada siapa aku harus harus berkata?" tanyanya gusar. "Tenang, Kita suruh jari menari, meluapkan isi pikiran, dan mengobati perasaan" jawabku dengan tenang. "Ah, pada kertas tiada rasa!" timpalnya ketus. "Oke, akan ku telepon seorang kawan, kita habiskan malam ini dengan bercerita kepadanya.setuju? " usulku. "Pada orang aku  tak percaya". "Terus?" hampir aku kehabisan akal.. "Pada Tuhan harusnya". Aku terdiam, ternyata pikiranku telah dewasa sekarang.

"Ya pada Tuhan, karena Dia-lah yang  Maha Pencipta. Dia  yang telah menciptkan aku" ujar hati.

"Dan dia yang Maha Memiliki, Dia yang memiliki diri ini" Diri pun ikut bersuara.

"Juga dia pula yang menguasai aku. Pikiranmu. Dia Maha Menguasai!"

Aku lega, akhirnya hati, pikiran dan diri mau bersalaman atas nama Tuhan. Memang begitu harusnya. Sebagai seorang muslim, tidak pantas merasa bimbang, apalagi menyerah kepada kehidupan. Karena semua yang datang dan pergi telah diatur olehNya. Kemudian aku bergegas mengambil air wudlu lagi. Sisa waktu di malam ini akan kuserahkan kepadaNya. La Hawla Wala Quwwata Illa Billah. Aku tidak punya kendali apapun. Kekuatan sebagai seorang muslimah ada di tanganNya. Dan Sholat malam adalah celah untuk mendapatkan kekuatan itu.

Terimakasih sunyi, telah membuat aku semakin dekat dengan Illahi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun