Mohon tunggu...
Afira
Afira Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Masih belajar caranya belajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titik Sunyi

29 Oktober 2012   13:39 Diperbarui: 13 Februari 2016   15:49 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Katakan aku hebat kalau aku bisa bertahan dalam bising, bukan dalam dunia yang senyap seperti ini. Aku selalu mendambakan kesunyian dan menikmati kesendirian. Dalam sunyi aku bisa berbicara dengan hatiku, dengan pikiranku, dengan diriku tanpa malu-malu.

"Jadi kamis ini aku bolos lagi? Harus aku marah pada diri? Pada orang lain? Atau pada nasib? Aku juga butuh waktu untuk aku."

Aku lontarkan pertanyaan itu kepada diriku yang bodoh, kenapa setelah sembilan belas tahun masih tidak bisa memahami aku. Diri ini sering kali menghabiskan waktu dengan hal yang tidak aku sukai. Aku hujani diri dengan beribu penyesalan. Diri tak bisa jawab, hatiku angkat bicara :

"Aku tidak pernah mendidikmu menjadi seorang penggerutu. Berhentilah mengeluh. Mungkin ini pelajaran dari Tuhan supaya kamu tidak sembarangan mengatakan 'iya' . Bukankah Tuhan telah memberimu hati dan pikiran? Harusnya kamu gunakan itu setiap ada yang sampai padamu."

"Ya...aku telah lalai merasai pikiranku dan lupa memikirkan perasaanku," diri mulai menyadari kesalahannya, tapi aku belum juga lega.

"Aku merasa seperti Romusha. Aku malah kehabisan waktu untuk melakukan hal yang aku sukai. Ini bukan masalah keegoisan pribadi, ini tentang mimpi. Setiap hari aku pulang kelelahan dan melupakan deretan buku yang menunggu untuk dibaca. Aku melewatkan momen untuk mengkaji dan mendiskusikan hal-hal yang aku minati. Aku kehilangan gagasan-gasasan pribadi yang tidak sempat aku rekam dalam sebuah tulisan. Padahal hanya dengan aksara sejarah itu ada. Dan kamu tahu? Aku lelah. Aku tidak mau lebih jauh dari urusan kuliah."

"Maaf, aku terlalu cepat mengambil keputusan. Tapi, ada nilai yang lebih berharga ketimbang sebuah IPK," diri mencoba membela setiap dakwaanku.

"Sudahlah. Lebih baik segera ambil wudlu, tenangkan pikiranmu, dan jangan tidur terlalu larut," hati memintaku dengan lembut.

Aku turuti pintanya. Malam ini air wudlu terasa begitu menusuk. Pandanganku mulai kabur dan tubuhku seperti tongkat yang dijatuhkan diatas kasur. Aku mencoba melalapkan diri dalam lelah. Selang sepuluh menit, aku bangkit  dari peraduanku. Aku tidak bisa tidur. Kemudian aku duduk di meja tempat aku mengukir kata. Aku diam. Merenung. Aku terlalu banyak mengahabiskan waktu, dan lupa memperhatikan kejadian-kejadian yang menimpaku. Seandainya aku tidak disibukan, mungkin aku sudah bisa menghidupi diri sendiri. Jauh disana, keluargaku sedang ditimpa musibah. Aku ingin sekali pergi dari dunia yang sekarang ini.

Pikiranku menuntut "Aku minta jatah libur, sehari saja aku tidak usah bekerja. Aku lelah dengan semua masalahmu, disini kamu mengeluh, disana keluargamu tertimpa musibah."

Tapi  hati menyela. "Jangan terlalu tunduk pada pikiranmu. Sudahlah, kejadian-kejadian yang kamu alami sedikitpun tidak mempengaruhi hidupmu. Lihatlah senyum keruput ibu dan wajah lelah bapak. Mereka tetap berkeringat demi menopang langkahmu. Bangkitlah, dan kejar mimpimu. Jangan racuni otakmu dengan yang tidak-tidak. Tak usah hiraukan kepunyaanmu yang hilang, itu sekedar titipan Tuhan. Ingatlah, jangan biarkan keterbatasan harta menghentikanmu. Pilihanmu hanya dua, bangkit atau mati."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun