Mohon tunggu...
Amhalogi
Amhalogi Mohon Tunggu... Seniman - Tendik dan Freelancer

Seorang manusia biasa; lagi sederhana. Gemar Menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Tinggi Badan Jadi Ukuran?

8 April 2024   08:01 Diperbarui: 8 April 2024   08:07 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasca status Covid19 dari pandemi menjadi endemi serta dianggap "usai", masalah kesehatan yang kini digaungkan ialah stunting. Apa itu stunting dan dari mana asal usulnya? Mari cari simak tulisan singkat ini secara seksama.Jika dilihat rata-rata orang asia itu memang tidak tinggi. Mengapa tinggi badan sebagai salah satu indikator seorang anak masuk kedalam stunting. Toh, masa pertumbuhan anak juga berbeda-beda.

Patut dipertanyakan jika yang dimaksud dengan stunting itu ialah anak dengan pertumbuhan yang lambat. Padahal, cukup lihat saja bibitnya. Kalau orang tuanya saja hanya 160 cm bukan tidak mungkin nantinya anaknya juga demikian.

"Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Kecuali dibawa oleh kelelawar..."

Di negara Jepang (jika tidak salah) itu ada sebuah istilah begini: "Semakin pendek seseorang, maka hidupnya semakin sukses..."

Pribahasa di atas, bukanlah sebuah dalil untuk menggugurkan konsep stunting yang kini digaungkan. Tetapi, ya coba dipikir ulang, tiap negara itu potensi rata-rata tingginya berbeda.

Maksud yang ingin penulis sampaikan ialah, bukankah gen itu menetukan seseorang. Kalau memang dari sananya sudah pendek mau diapain lagi? Makan sebanyak apapun hasilnya ya tetap segitu.

Jangan terlalu mudah untuk menerima sesuatu, jika baru sebatas kajian sepihak. Terlebih ini itu seperti produk yang dipaksakan, dan terencana. Bukan sesuatu yang murni datangnya.

Bahkan ada sebagian orang yang meyakini jika hal ini merupakan sebuah rencana; tentunya telah dirancang jauh-jauh hari. Ada aktor di balik layar yang menggerakkanya. Mereka bekerja sama dengan kekuatan besar untuk memuluskannya.

Dengan kata lain, anak buah hanya bisa menuruti apa yang dikatakan dan diperintahkan oleh atasannya. "Jangan banyak tanya, jalankan dan laksanakan saja..." Mungkin ilustrasinya demikian.

Rakyat yang di bawah juga tak mampu berbuat apa-apa. Semua diarahkan dan dipaksa untuk taat dengan aturan yang dibuat. Jika tidak taat, dianggap melanggar dan dikenakan sanksi.

Bukankah ini sebuah kejanggalan? Sampai kapan kita akan diam dan tunduk kepada mereka yang berkuasa. Senyatanya, rakyatlah yang menjadi korban dari berbagai kepentingan.

Amha, tinggal di Cibusung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun