Mohon tunggu...
A.M. Fatwa
A.M. Fatwa Mohon Tunggu... profesional -

Fatwa telah menjadi ikon sebuah perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru. Itulah sebabnya sejak muda ia sudah mengalami teror dan tindak kekerasan yang dilakukan oleh intel-intel kedua rezim otoriter tersebut, hingga keluar masuk rumah sakit dan penjara. Terakhir ia dihukum penjara 18 tahun (dijalani efektif 9 tahun lalu dapat amnesti) dari tuntutan seumur hidup, karena kasus Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984 dan khutbah-khutbah politiknya yang kritis terhadap Orde Baru. Dari keluar masuk tahanan politik sebelumnya dia mukim di balik jeruji 12 tahun. Meski berstatus narapidana bebas bersyarat (1993-1999) dan menjadi staf khusus Menteri Agama Tarmidzi Taher dan Quraish Shihab saat itu, mantan Sekretaris Kelompok Kerja Petisi 50 itu bersama Amien Rais menggulirkan gerakan reformasi, hingga Presdien Soeharto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998. Pernah menjabat beberapa jabatan struktural dan jabatan semi official pada pemda DKI Jakarta dan Staf Khusus Gubernur Ali Sadikin di bidang politik dan agama ini terpilih menjadi wakil rakyat pertama kali dalam pemilu 1999 dari daerah pemilihan DKI Jakarta, dan diamanahi tugas sebagai Wakil Ketua DPR RI (1999-2004). Pada periode 2004-2009 ia terpilih mewakili rakyat dari daerah pemilihan Bekasi dan Depok dan diamanahi tugas sebagai Wakil Ketua MPR RI. Dan pada periode 2009-2014 ia terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari DKI Jakarta. Pada 14 Agustus 2008 ia dianugrahi oleh Negara berupa Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana di Istana Negara. Dan pada tanggal 29 Januari 2009 ia memperoleh Award sebagai Pejuang Anti Kezaliman dari Pemerintah Republik Islam Iran yang disampaikan oleh Presdien Mahmoud Ahmadinejab di Teheran. Dari buah pikirannya telah lahir tidak kurang dari 24 buku, yaitu: Dulu Demi Revolusi, Kini Demi Pembangunan (1985), Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama diadili (1986, 2000), Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim (1994), Islam dan Negara (1995), Menggungat dari Balik Penjara (1999) , Dari Mimbar ke Penjara (1999), Satu Islam Multipartai (2000), Demokrasi Teistis (2001), Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003), PAN Mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa (2003), Kampanye Partai Politik di Kampus (2003), Dari Cipinang ke Senayan (2003), Catatan dari Senayan (2004), Problem Kemiskinan, Zakat sebagai Solusi Alternatif (bersama Djamal Doa dan Arief Mufti, 2004), PAN Menyonsong Era Baru, Keharusan Pengungkapan Kebanaran untuk Rekonsiliasi Nasional (2005), Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2006-2007), dan Satu Dasawarsa Reformasi Antara Harapan dan Kenyataan (2008), Grand Design Penguatan DPD RI, Potret Konstitusi Paska Amandemen UUD 1945 (Penerbit Buku Kompas, September 2009). Atas kreativitas dan produktivitasnya menulis buku, Meseum Rekor Indonesia (MURI) memberinya penghargaan sebagai anggota parlemen paling produktif menulis buku, selain penghargaan atas pledoi terpanjang yang ditulisnya di penjara Masa Orde Baru. Pemikiran dan pengabdiannya pada masyarakat, khususnya di bidang pendidikan luar sekolah, A.M. Fatwa dianugrahi gelar Dokter Honoris Causa oleh Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada Juni 16 Juni 2009. e-mail: emailfatwa@yahoo.go.id atau amfatwa@dpd.go.di.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tidak Benar A.M. Fatwa (Ketua Badan Kehormatan) Memaksa Pimpinan DPD Tanda Tangani Tata Tertib

7 April 2016   18:06 Diperbarui: 7 April 2016   18:26 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertama, perlu ditegaskan bahwa sejak di ketok palu pada pengesahan draf tatib yang dilaporkan Pansus Tatib pada Sidang Paripurna (Sipur) DPD tanggal 15 Januari 2016 maka bukan lagi draf, tapi sudah merupakan putusan yang harus ditandatangani Pimpinan DPD sebagai suatu keharusan administratif.

Sebelum Sipur tanggal 17 Maret 2016 telah diinformasikan pada saya beredarnya pengumpulan tandatangan apa yang mereka sebut “Mosi Tidak Percaya” kepada Pimpinan DPD, yang nantinya akan disampaikan kepada Badan Kehormatan (BK). Bahkan kepada saya pun disodorkan untuk ikut bertandatangan dan tanpa dibaca saya langsung menolak, karena sebelumnya sudah mendengar cerita tentang maksud dan tujuannya yang pasti akan menjadi “PR” bagi BK yang tidak mudah menyelesaikannya.

Dalam pada itu, saya juga memikirkan bahwa jika “Mosi Tidak Percaya” itu nantinya disebarluaskan maka Pimpinan DPD akan kehilangan kepercayaan dan secara moral legitimasi politiknya dipertanyakan. Bukankah modal utama pemimpin itu adalah kepercayaan? Dan untuk pemimpin parlemen ialah kepercayaan publik.

Karena itu, menjelang saya naik mimbar yang mendapatkan giliran terakhir saya berpikir keras. Kemudian muncul intuisi politik saya untuk menawarkan suatu kesempatan terhormat yang disaksikan hadirin sebelum terus beredarnya “Mosi Tidak Percaya” kepada Pimpinan DPD, yaitu kesediaan untuk menandatangani Tatib Keputusan Sidang Paripurna 15 Januari 2016.

Sebelum saya beranjak dari mimbar untuk menyodorkan/menawarkan (bukan memaksakan) kepada Pimpinan DPD, saya sempat mengucapkan bahwa sulit dibayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya jika Pimpinan DPD tidak menandatangani Tatib Keputusan Sidang Paripurna.

Untuk diketahui bahwa meminta tandatangan Pimpinan DPD itu memang tugas BK, sesudah BK melakukan penyelarasan teknis redaksional seperti yang di tugaskan Paripurna kepada BK. Sudah beberapa kali BK mengirim surat kepada Pimpinan DPD, bahkan mengundang ke Rapat Pleno BK meminta kesediaan bertandatangan tapi belum juga bersedia. Maka saya mengambil inisiatif menawarkan pada kesempatan Sipur tersebut.

Istilah memaksa pimpinan itu adalah istilah yang diciptakan oleh orang tertentu yang dapat dianggap bertujuan mendeskreditkan.

Pada hari Sidang Paripurna 17 Maret 2016 yang ricuh itu, diinformasikan pada saya sudah ada 62 penandatangan “Mosi Tidak Percaya” dan akan bertambah terus jika Tatib tidak ditandatangani.

Saya telah menghubungi Pimpinan BK lainnya yang sedang reses di daerah pemilihannya, dan kami sepakat untuk mengadakan Rapat Pleno BK menjelang Paripurna tanggal 11 April 2016 untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi lagi kericuhan. Sementara itu, dari kalangan inisiator pengedar tandatangan “Mosi Tidak Percaya” menginformasikan lagi kepada saya bahwa akan tetap menyerahkan kepada BK apa yang disebutnya “Mosi Tidak Percaya” itu dengan penandatangan yang bertambah banyak, katanya. Maka apa yang saya duga dan khawatirkan rupanya akan terjadi.

Hemat saya, kita sebagai politisi tingkat nasional di parlemen yang mestinya sudah menyandang gelar negarawan harus dapat menemukan suatu solusi akibat belum dilaksanakannya Keputusan Sidang Paripurna tanggal 15 Januari 2016. Bagaimana bentuk solusi itu, mari kita coba rumuskan dalam forum terbatas sebelum Sipur.

Kita berharap bahwa dengan solusi yang dicapai itu, maka tidak ada seorangpun Anggota DPD yang telah ikut dalam pengambilan keputusan pada Sipur tersebut (baik yang memilih Draf A ataupun Draf B) merasa tidak tertampung pemikirannya. Semoga dengan itu dapat dicapai penyelesaian demi kepentingan DPD sebagai lembaga negara.

Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menunjukkan jalan keluar yang terbaik.

Wassalam.
Jakarta, 7 April 2016

A.M. Fatwa
Ketua Badan Kehormatan DPD RI

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun