Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Penasihat MUI DKI
Saya tergelitik menulis artikel ini karena sesaat setelah dilantik jadi Gubernur DKI, Ahok berkata, “Saya ingin dikenang seperti Ali Sadikin.” Ada beberapa persamaan karakter antara Ali Sadikin dan Ahok, khususnya tentang ketegasan, keberanian, dan kecerdasan. Sebaliknya terdapat juga beberapa perbedaan, khususnya tentang rekam jejak. Ali Sadikin punya rekam jejak yang lebih handal. Sebelum menjabat Menteri Maritim, ia adalah Jenderal Marinir yang disegani. Cerita keberaniannya memimpin pasukan dalam pertempuran-pertempuran menghadapi Permesta pada masa awal kemerdekaan diapresiasi banyak orang. Karena itu, saat Presiden Sukarno mencari sosok yang kopech, berani, tegas, dan keras kepala untuk memimpin Jakarta, Waperdam Leimena langsung menyebut Brigjen KKO AL Ali Sadikin.
Tanpa bermaksud diskriminatif, harus diakui bahwa Ahok memiliki kelemahan, yang biasa disebut minoritas dalam tiga sisi: sisi etnis, sisi agama, dan sisi asal daerah. Ahok memang pernah menjadi Bupati satu tahun dari PIB, sebelum mencalon jadi Gubernur Babel. Ia masuk DPR RI lewat Golkar, dan memenangkan Pemilukada DKI sebagai Wagub dari Gerindra. Ia keluar dari Gerindra dan diprediksi akan masuk ke PDIP—partai yang sangat mendukungnya dalam proses pelantikan menjadi gubernur. Inkonsistensinya dalam berpartai ini menuai kritik banyak kalangan.
Karena Ahok ingin meniru Ali Sadikin, saya ingin mengemukakan beberapa gebrakan pembangunan Ali Sadikin, agar bisa dibandingkan dengan gebrakan Ahok. Pertama, cara Ali Sadikin menyiasati sangat minimnya APBD DKI dengan tantangan pembangunan yang begitu banyak. Ia melihat judi merajalela dan dibekingi oleh oknum jenderal. Ia pun melegalkan dan melokalisir judi agar bisa diambil retribusinya. Uang retribusi dari judi Hwa-Hwe yang ia pungut memang bisa menyangga pembangunan DKI, namun mendapatkan reaksi keras dari masyarakat. Untuk para jenderal ia berteriak, “Di Jakarta memang banyak jenderal, tapi jenderal yang gubernur hanya saya!” sementara untuk kalangan agama, ia berkata, “Itu tokoh Islam M. Natsir kalau keluar rumah naik helikopter saja, agar tidak menginjak jalan yang dibangun dari dana judi!”
Untuk memperlebar jalan, dia memotong bangunan-bangunan yang dimulai dari almamaternya Markas Besar Angkatan Laut di Jl. Gunung Sahari. Sedangkan ketika Pasar Senen hangus dibakar massa pada Peristiwa Malari 974, Ali Sadikin berhasil menggaet Bank Dunia untuk membagunnya kembali. Bahkan juga berlanjut pada Proyek Husni Tamrin untuk membangun perkampungan kumuh di Jakarta.
Ketika akan memperluas pusat-pusat aktivitas ekonomi di kawasan Tanah Abang, Ali Sadikin terbentur pada kompleks pemakaman Arab yang sulit untuk direlokasi. Maka dia berteriak dari balaikota, “Alangkah sulitnya kita membangun di Jakarta ini, kita kesulitan untuk orang hidup, bagaimana kalau orang mati itu dikubur saja secara berdiri supaya efisien?!” ia juga mewasiatkan agar setelah wafat, jenazahnya dikubur satu liang dengan istrinya. Sebagai bentuk protes atas pidato keras ini, beberapa orang mondar-mandir mengusung keranda di depan balaikota dan depan kediamannya di Jl. Borobudur.
Untunglah Buya HAMKA berhasil meredakan suasana dengan mengatakan bahwa gebrakan Ali Sadikin tidak sepenuhnya salah. Beliau merujuk pada kompleks pekuburan di Mekkah dan Madinah yang sudah lama, dibuka kembali untuk ditimbun jenazah baru. Akhirnya, kompleks pemakaman Tanah Abang bisa direkolasi ke pinggiran kota, dan lahannya bisa dibangun berbagai fasilitas umum, termasuk gedung pendidikan Said Naum.
Dalam bidang kebudayaan, tonggak prasasi peninggalan Ali Sadikin ialah kompleks Taman Ismail Marzuki. Kemudian juga pelembagaan Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ) yang tujuan utamanya adalah agar kegiatan MTQ ditangani panitia yang tetap, bukan “panitia borongan” saat event itu dilaksanakan.
Pembentukan LPTQ sejatinya sudah dimulai Ali Sadikin setelah Jakarta menjadi tuan rumah MTQ Nasional ke-5 tahun 1972. Bahkan tidak itu saja, musyawarah MTQ tersebut juga merekomendasikan pendirian peninggalan monumental berupa Pondak Karya Pembangunan di Cibubur, di atas tanah seluas 18 ha. Rekomendasi ini disambut antusias oleh Ali Sadikin karena sejalan dengan proyek dinamisasi madrasah yang sudah dicanangkan sebelumnya.
Saat berkesempatan menunaikan ibadah haji pada tahun 1974, Ali Sadikin tidak hanya fokus pada rituaal ibdah semata. Ia juga berkeliling meninjau pemondokan jamaah haji Indonesia yang tersebar di rumah-rumah syeikh, yang dianggapnya tidak manusiawi. Atas dasar itulah, sepulangnya dari tanah suci, ia menggandeng Dirjen Bimas Islam untuk menyelenggarakan seminar nasional yang salah satu hasilnya adalah, merekomendasikan pengorganisasian jamaah haji dalam kelompok-kelompok yang teratur, mirip pengorganisasian pengiriman pasukan militer ke suaatu wilayah yang disusun dari regu, pleton, kompi, batalyon, dan resimen. Rekomendasi ini langsung ia praktikkan pada musim haji berikutnya, dengan membentuk kafilah haji DKI yang juga disubsidi khusus dari APBD.
Suatu peristiwa penting lain yang patut dicatat dalam perjalan haji Ali Sadikin ialah, terjadinya pertemuan silaturrahim dengan M. Natsir yang juga sedang berhaji dan menghadiri Muktamar Alam Islami sebagai Wakil Presidennya. Silaturrahim ini mencairkan ketegangan antara Ali Sadikin dengan tokoh-tokoh Islam di tanah air karena banyak ditindaklanjuti dengan pertemuan dengan masyarakat agama di Jakarta. Hubungan ini terpelihara dan berkesinambungan karena Ali Sadikin yang paling awal melaksanakan instruksi presiden untuk membentuk majelis ulama di daerah, bahkan sebelum badan amil zakat dan infak nasional terbentuk, lebih dulu Ali Sadikin telah membentuk Badang Amil Zakat Infak dan Sadaqah (BAZIZ) DKI. Secara lokal juga membentuk Kordinator Dakwah Islam (KODI), dan untuk para karyawan dibentuk Tim Pembina Rohani yang seterusnya melembaga. Dari proses ini semua, Ali Sadikin sempat berucap bahwa, “Ternyata kalau kita dekat dengan masyarakat agama, pembangunan bisa dilaksanakan dengan lancar dan aman.”
Sekarang bagaimana dengan enam gebrakan Ahok, yaitu pemangkasan dan transparansi anggaran Pemprov DKI, perbaikan pengelolaan Rusun Marunda, perbaikan pelayanan birokrasi, penggunaan teknologi informasi, penertiban pedagang kaki lima di Tanah Abang, dan promosi pulau-pulau di wilayah Jakarta sebagai tempat wisata.
Kita berkeyakinan bahwa semua rencana besar Ahok ini akan dapat terwujud jika mendapatkan dukungan dan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, khususnya DPRD selaku pasangan kerjasama strategis berdasarkan undang-undang. Kemudian juga pembenahan stafnya sendiri, dukungan semua instansi vertikal dan horizontal, serta dukungan partisipatif dari masyarakat umum. Meskipun Jakarta sebagai kota metropolitan internasional, tetapi punya ciri khas tradisional yang tidak bisa diabaikan berkaitan dengan pengaruh pemimpin-pemimpin informal yang memiliki massa fanatik. Mulai dari kelompok-kelompok pengajian, majelis taklim dan zikir yang dibina para habaib, dan lain sebagainya.
Ali Sadikin pada awal pemerintahannya dengan berbagai gebrakan dan sikap kontroversialnya yang mendapat reaksi keras banyak pihak, ternyata di akhir pemerintahannya sebagai gubernur terlama (11 tahun) bisa menjalin komunikasi yang indah dengan semua pihak. Saya bermimpi dan yakin bahwa jika Ali Sadikin dengan Natsir, Buya HAMKA, dan ulama kharismatik Betawi KH Abdullah Syafi’i yang semula bersitegang dalam kesalahpahaman, akhirnya bisa akur dan akrab, maka mengapa tidak suatu waktu Ahok akan saling bersilaturrahim dan akrab dengan Habib Rizieq tanpa harus membubarkan FPI. Kalau Jaya Suprana yang non-muslim dan juga dianggap eksentrik dan kontroversial bisa akrab dan beberapa kali berpidato di hadapan pengajian FPI, mengapa Ahok tidak bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H