Mohon tunggu...
Amer Sabili
Amer Sabili Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi

Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money

Napas Ekonomi di Tengah Krisis Kesehatan Pandemi Covid-19

2 Juli 2021   01:17 Diperbarui: 2 Juli 2021   01:21 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sudah 1 tahun lebih semenjak masuknya wabah virus COVID-19 di Indonesia pada Maret 2020. Segala kebijakan telah diterapkan guna memutus rantai penyebarannya, mulai dari PSBB hingga PPKM. Keberlangsungan penerapan PSBB di awal April 2020 cukup memberikan dampak yang signifikan. Tak hanya menciptakan krisis kesehatan, pandemi COVID-19 ini juga mengganggu kestabilan arus ekonomi nasional. Adanya pembatas yang berlangsung selama kurang lebih 3 bulan pada saat diterapkannya PSBB berdampak luas pada kegiatan produksi, distribusi, dan kegiatan operasional lainnya.

Pertumbuhan ekonomi yang mengalami kemerosotan sepanjang 2020 lalu tak lepas diakibatkan tergerusnya daya beli masyarakat. Padahal, kegiatan konsumsi rumah tangga adalah tumpuan dalam laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia. 

Penerapan PSBB dalam mencegah penyebarluasan virus COVID-19 menyebabkan terbatasnya mobilitas dan aktivitas masyarakat yang mengakibatkan menurunnya permintaan domestik.

Memasuki masa transisi (new normal) setelah adanya pembatasan selama 3 bulan menciptkan masalah baru dalam kehidupan masyarakat. Keterpurukan ekonomi mendorong pemerintah untuk akhirnya kembali menghidupkan roda ekonomi dengan segala keterbatasan yang ada. 

Dengan penuh harapan, adanya kelonggaran dapat kembali membangun kekuatan ekonomi di masyarakat. Kebijakan ini tentunya disambut gembira oleh para pelaku usaha, terlebih sektor swasta yang bisnisnya mengalami kemunduran akibat adanya pembatasan.

Kegiatan ekonomi kembali berjalan dengan menyesuaikan kondisi serta penerapan protokol kesehatan yang ketat. 

Meskipun begitu, tak jarang ada perusahaan yang masih menerapkan system WFH (work from home) seperti penyedia jasa asuransi, pekerja kantor, penyedia layanan internet, online shopping, dan lain-lain. 

Tetapi WFH tidak dapat diterapkan pada perusahaan yang bergerak dalam bidang produksi barang, mengingat dalam kegiatan produksi mengharuskan adanya operasional yang dilakukan oleh manusia, yang membuat tak terhindarnya kontak fisik.

Kembali beroperasinya kegiatan produksi pada industri dan pabrik-pabrik rupanya melahirkan masalah baru yang cukup krusial. Kontak fisik yang terjadi akibat harus berlangsungnya produksi melahirkan banyaknya laporan kasus positif. Kegiatan industri yang juga merupakan prioritas dalam menghidupkan roda ekonomi pun akhirnya memuncul klister baru dalam penularan virus COVID-19. Lonjakan kasus positif COVID-19 tak terhindarkan akibat kembali dibukanya mobilitas dalam masyarakat.

Banyaknya laporan kasus penularan akibat munculnya klister pekerja menuntut perhatian yang lebih serius dari pemerintah dalam menangani masalah ini. Penerapan protokol kesehatan di lingkungan kerja khususnya pabrik dalam sektor produksi dapat dikatakan masih tidak ketat. Kurangnya perhatian akan penerapan protokol kesehatan oleh pelaku usaha diperparah dengan rendahnya kesadaran dari para pekerja dalam menerapkannya.

Kegiatan produksi pada industri dan pabrik yang tentunya berlangsung pada ruang tertutup dan kurangnya kesadaran dalam menerapkan protokol kesehatan menjadi alasan lingkungan kerja bukanlah tempat yang aman. etua Pusat Kajian Kesehatan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka (Puskakes Uhamka) Bigwanto mengatakan, banyaknya laporan kasus karyawan positif corona menjadi bukti bahwa saat ini belum waktunya industri dibuka kembali.

Namun dibalik rasa khawatir akan melonjaknya kasus positif juga menjadi dilema Ketika melihat tekanan ekonomi yang sudah mengarah pada resesi. Kemunduran yang dirasakan oleh para pelaku usaha tentunya tak bisa diabaikan sehingga mengharuskan kegiatan ekonomi harus tetap berjalan di tengah krisis kesehatan yang terjadi.

Jika memang terpaksa harus tetap berjalan, perusahaan harus memfasilitasi karyawan dalam menerapkan protokol kesehatan yang lebih baik demi menyeimbangkan arus ekonomi. Mengadakan rapid tes massal secara berkala menjadi langkah dalam mengawasi penyebaran virus dan juga penerapan protokol.

Namun hal ini tentunya akan menjadi desakan baru bagi pelaku usaha karena harus mengeluarkan anggaran yang tidak murah dalam memfasilitasi para pekerjanya. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan, selain perlu rapid tes regular untuk karyawan industri juga perlu memperketat penerapan protokol kesehatan.

Dengan tingginya kasus positif yang terjadi dalam ruang lingkup pekerja nantinya akan membuat perusahaan menerima tekanan ganda berupa tekanan keuangan yang diakibatkan belum pulihnya kegiatan produksi dan tekanan yang diakibatkan oleh berkurangnya tenaga kerja karena terpapar virus yang berujung pada berhentinya kegiatan produksi. Dalam keadaan seperti ini, upaya pemerintah dan para pelaku usaha dalam menggerakan kembali roda ekonomi bisa menjadi boomerang.

Kesadaran akan penerapan protokol kesehatan pada lingkungan kerja tentunya tidak akan diabaikan oleh pelaku usaha. Namun, dalam mengimplementasikannya tidaklah semudah yang dikatakan. Perusahaan harus mengeluarkan anggara yang sangat besar dalam memfasilitasi pekerjanya dalam mengadakan rapid tes rutin guna menerapkan protokol kesehatan. 

Mereka juga harus memenuhi kebutuhan alat pelindung diri bagi pekerjanya seperti masker, sarung tangan, face shield, hand sanitizer, dan disinfektan. Dengan jumlah pekerja yang banyak tentunya perusahaan harus mengeluarkan anggaran yang tidak kecil juga.

Melihat kondisi ini diperlukannya sinergitas antara pemerintah dan pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan ekonomi tanpa lupa memprioritaskan kesehatan para pekerja. Pemerintah dengan kebijakan yang dibuat diharapkan mampu mensubsidi rapid tes kepada perusahaan yang memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan masyarkat. 

Perusahaan dapat membatasi mobilitas para pekerjanya dengan mengurangi jumlah pekerja dari kapasitas normal menjadi 25-50%. Dengan adanya sinergi yang dilakukan oleh pemerintah dan para pelaku usaha diharapkan dapat melahirkan titik terang di Indonesia dalam menangani COVID-19 dan juga menumbuhkan kembali arus ekonomi seperti sedia kala.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun