La Penritata kekasihku, kau memulai perpisahan ini dengan ciuman liar. Kepalamu ular, menumpahkan bisa ke mulutku. "Aku akan terus mengirimi ribuan pil puisi untuk menemani kuantiliun detikmu bahkan mungkin lebih, saat kita berjauhan", bisa dari mulutmu membasahi jiwaku yang mulai kering. Dua puluh tiga langkah kepergianmu, rambutmu berubah menjadi kobaran api.
Lelakiku La Penritata yang kukagumi sepenuh-penuh hati, sudah dua puluh dua bulan kepergianmu, aku ingin bercerita banyak hal padamu. Tetapi, ponsel sialanmu itu selalu melawan panggilanku, "Maaf, orang yang anda tuju, sudah tidak peduli pada kondisimu." Sialan!
Hidup ini bajingan La Penritata. Saat malam tiba, tubuhku sering hancur dikunyah sepi. Menjelang pagi, bola mataku berloncatan mencari-cari pil puisi yang kaujanjikan, kerongkonganku kering, perempuan di dalam tubuhku ke luar, wajahnya penuh sayatan, tubuhnya penuh lubang. Saat matahari tepat di atas kepalaku, tubuhku kembali utuh.
Jawab pertanyaanku, La Penritata! Haruskah aku bercinta dengan lelaki-lelaki berjas dan berdasi di gedung wakil rakyat—yang lebih sering membuat pernyataan dibanding aksi, agar mereka mewakili beban perasaanku dan mampu merontokkan segala bisamu dengan bisanya?
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H