Senja sedang cerah-cerahnya. Denniz sedang asyik membolak-balik album foto Mehrin. Sesekali ia berhenti untuk memandangi foto Mehrin semasa di sekolah menengah, mendongak dan mengamat-amati wajah Mehrin, lalu menunduk kembali untuk melihat-lihat foto.
Denniz tertegun. Sesaat berdecak-decak kagum. Ia mengusap-usap sebuah foto. Dagunya sedikit terangkat. "Dulu tubuhmu ramping," katanya dengan mata terus tertuju ke foto. "Sekarang...." Ia berhenti sejenak sambil memandangi tubuh Mehrin, "Jauh panggang dari api!"
Jantung Mehrin berdegup kencang. Darah serasa mengalir ke satu tempat, hanya ke wajahnya. Pipinya memerah. Ubun-ubunnya terasa panas. Pundaknya bergetar. "Ngapain kamu banding-bandingin aku yang sekarang dengan aku pada masa lalu? Itu penghinaan fisik, Niz!"
Yang ditegur seolah berkuping panci. Sama sekali tidak peduli. Matanya berbinar setiap melihat foto masa remaja Mehrin. "Dulu wajahmu mulus." Ia mendongak lagi, memandangi lengan Mehrin, dan berbisik, "Lenganmu juga belum bergelambir!"
Bibir Mehrin bergeletar. Suaranya bergetar. "Kamu...."
Tetapi Denniz tetap bermuka badak. "Aku haus, nih!"
"Minum tuh hand sanitizer!"
Body Shaming Bukan Lelucon
Brandy Vela, seorang remaja siswa sebuah sekolah menengah di Texas. Ia bunuh diri dengan cara menembak dadanya di depan orangtuanya. Dilansir dari Independet.co.uk, ia bunuh diri karena tidak tahan lagi menanggung beban intimidasi verbal selama bertahun-tahun.
Intimidasi verbal itu berupa ejekan, ledekan, dan hinaan karena tubuhnya yang jauh lebih gemuk dibanding ukuran tubuh remaja seusianya. Hinaan fisik itu dilakukan oleh teman sekelas dan teman sepermainannya.
Sebagian temannya kemungkinan hanya bercanda. Padahal, penghinaan fisik--yang kerap kita sebut body shaming--sebenarnya bukan bahan lelucon. Tidak ada yang layak ditertawai dari kondisi fisik seseorang.