Tuhan, berkatilah pasangan yang menyadari bahwa uang adalah sesuatu yang dapat menyelamatkan sekaligus membahayakan hubungan.
Mehrin dan Denniz berdiri bersisian di depan kasir di sebuah restoran. Mereka baru saja selesai makan malam bersama. Denniz gelagapan merogoh saku celana, meraba kantong baju, dan menatap Mehrin dengan pandangan anak-anak yang mengiba demi segepok uang jajan. Ia mendesis, "Dompetku ketinggalan!"
Mehrin terkejut, menarik napas panjang, dan tersenyum memandang Denniz dengan tatapan gadis muda yang kesal melihat ulah konyol kekasihnya. Ia berbisik, "Kamu sudah berkali-kali lupa dompet. Itu bukan lupa, itu sengaja. Aku yang bayar, tapi kamu ngutang kepadaku!"
Denniz merengut. Ia menatap Mehrin seperti pemburu yang hendak membantai mangsa. "Kamu terlalu hitung-hitungan!" Matanya mendelik. Urat di lehernya menegang. "Hubungan kita mestinya cinta filia. Saling memberi, saling menerima!"
"Sejak kapan kamu memberi?" Mehrin kembali menarik napas. Dan, mengembuskannya panjang dan lama. Seolah-olah lewat embusan napas itu tandas seluruh rasa kesal di dadanya. "Kamu boleh jadi psikopat duit, tapi jangan paksa aku jadi filofobia!"
Kuasa Uang dalam Satu Hubungan
Mehrin dan Denniz masih sebatas pacaran, fase pendekatan sebelum menuju tahap serius bernama pernikahan. Kisah Mehrin dan Denniz itu hanyalah ilustrasi atas sebuah hubungan yang timpang. Itu fiksi. Rekayasa imajinasi saya saja. Meski begitu, kisah serupa sering terjadi di sekitar kita.
Dalam satu dialog, Denniz menegaskan bahwa cinta mereka adalah "cinta filia", jenis cinta yang saling memberi dan saling menerima. Faktanya, justru Mehrin yang lebih sering memberi dan Denniz lebih banyak menerima. Ada relasi timpang di sana. Ada kuasa kelas yang jomplang.
Bayangkan perasaan Mehrin dalam menghadapi situasi kasus Denniz "lupa dompet". Ia dongkol, tapi ia tidak mungkin mengomeli Denniz di depan banyak orang. Ia jengkel, tapi ia tetap membayar tagihan makanan. Denniz memakai muslihat basi. Tak punya duit tinggal ngomong. Stop tipu-tipu pacar!
Di sisi lain, Denniz mengira terus-terusan ditraktir oleh pasangan adalah bagian dari pengorbanan (baca: kenikmatan) dalam satu hubungan. Ia santai-santai saja sekalipun ia melihat Mehrin uring-uringan. Ia lupa bahwa kadar perasaan sabar tiap manusia jelas berbeda-beda.