Saya tak pernah membayangkan pandemi virus korona akan berlangsung sebegini lama. Saya juga tidak pernah tahu kapan pandemi ini berakhir. Hingga hari ini saya masih bertanya-tanya kapan "badai korona" ini berlalu.
Bukan cuma saya, Anda pasti mengalami hal serupa.
Pemerintah memang sudah mengumumkan bahwa kita sudah memasuki masa tatanan hidup baru dan menganjurkan protokol kesehatan yang ketat, tetapi kita tidak bisa memungkiri bahwa rasa waswas masih menghantui. Kita pergi ke mana-mana bersama rasa khawatir. Kita ke luar rumah bersama rasa tidak nyaman. Sungguh, kita masih jauh dari rasa aman.
Dampak pandemi sangat terasa bagi keuangan kita.
Ada orang yang kelimpungan karena terkena PHK. Ada yang merasa depresi sebab gajinya dipotong hingga 50%. Ada yang terpapar stres karena tidak menerima gaji lagi. Menurut data Kemenaker, dilansir oleh Liputan6.com, sebanyak 212.394 pekerja formal terkena PHK dan 1.205.191 orang yang dirumahkan.
Sebagian dari pekerja yang dirumahkan itu menerima separuh gaji, sebagian lagi sama sekali tidak menerima gaji. Yang menerima separuh gaji harus mengelus dada, yang tidak menerima gaji terpaksa menggigit jari.
Bukan hanya keuangan pribadi atau keluarga, keuangan negara juga terganggu. Stabilitas sistem keuangan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tersendat, dan pertumbuhan ekonomi terhambat.
Sekilas tentang Stabilitas Sistem Keuangan
Sebelum kita ulik makna Stabilitas Sistem Keuangan, mari kita bahas dulu arti sistem keuangan. Menurut Bank Indonesia, sistem keuangan adalah suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusaahaan non-keuangan dan rumah tangga, yang saling berinteraksi dalam pendanaan atau penyediaan pembiayaan pertumbuhan perekonomian.
Setiap pribadi, terkhusus yang masih lajang, termasuk dalam bagian keluarga. Dengan demikian, keuangan pribadi termasuk dalam keuangan keluarga--yang merupakan bagian dari perusahaan non-keuangan dan rumah tangga.