Bahkan boleh jadi ada yang gondok setengah mati, tetapi memilih berdiam diri sambil berdecak-decak. Betapa tidak, demonstrasi dilakukan di tengah-tengah pandemi korona.
Terkait cara dan proses menolak, di luar sana juga ada perorangan atau organisasi yang menolak RUU HIP. Namun, mereka memilih cara yang aman dalam mengalirkan penolakan.Â
Mereka tidak turun ke jalan mungkin karena khawatir pada virus korona. Virus yang tidak kelihatan wujudnya dan tidak ketahuan di mana ia mengintai mangsanya.
Singkat kata, berkerumun hingga ratusan orang itu sangat membahayakan keselamatan diri sendiri. Bahkan berpotensi mengancam nyawa orang lain yang tidak ikut berdemo. Belum lagi masker yang menggantung di dagu alih-alih menutupi hidung dan mulut. Ditambah-tambah percik ludah atau air liur saat serempak berteriak.
Saya jelas-jelas menghindari makian seperti "nekat menyalurkan aspirasi tidak perlu segoblok itu". Saya memilih tidak bermisuh-misuh sekasar dan senyablak itu. Saya memilih berdoa, itu pun di dalam hati, semoga beberapa hari mendatang kita tidak mendengar kabar penderita korona dari klaster demo RUU HIP.
Menyalurkan aspirasi memang perlu, tetapi menyelamatkan diri juga penting. Siapa yang tahu besok-besok ada di antara pendemo yang sekereta, semobil, atau seruangan dengan orang lain yang tidak ikut-ikut berdemo. Jangan-jangan malah mereka membahayakan jiwa orang yang mereka sayangi.
Ah, sudahlah. Sehatlah Indonesia!
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H