Kanker sungguh mengerikan. Siapa pun Anda, kanker tidak peduli. Laki-laki atau perempuan sama-sama rawan terkena kanker. Kaya atau miskin sama-sama rentan terserang kanker. Pejabat atau rakyat sama-sama ringkih tertimpa kanker. Singkat kata, kanker dapat menyerang siapa saja.
Lebih mengerikan lagi, kanker dapat tumbuh di mana saja di dalam tubuh kita. Bisa di anus atau di usus, bisa di otak atau di hati. Bahkan jantung dan sumsum tulang kita pun bisa diserang kanker. Singkat kata, kanker mengancam seluruh inci dari bagian tubuh kita.
Prinsip kerja kanker juga mencengangkan, yakni bekerja tanpa banyak bicara. Tahu-tahu seorang pengidap kanker sudah stadium akhir. Kanker seakan-akan menganut moto "diam-diam menghanyutkan" atau, lebih tepatnya, "diam-diam mematikan".
Kisah Mantan Presiden
12 Agustus 2015. Atlanta geger. Sembari meluncurkan autobiografinya, A Full Life: Reflections at Ninety, Jimmy Carter menyatakan bahwa ia merasa riwayat hidupnya sudah mendekati tamat. Semua gara-gara kanker yang menyerang jaringan kulitnya sudah menyebar ke hati dan otak. [1]Â Â Â
"Saya pikir, saya akan hidup paling lama beberapa minggu lagi," ujar Presiden ke-39 AS itu. Kabar dari auditorium The Carter Centre di Atlanta, AS, sontak tersebar ke seantero dunia. Peluncuran buku pun berlangsung khidmat karena berbalut doa dan bertabur harapan.Â
Hanya saja sifat ajal memang seperti rezeki dan jodoh, sama-sama rahasia. Setelah menjalani beruntun terapi termutakhir, kombinasi antara radioterapi dan imunoterapi, Carter dinyatakan sembuh dari kanker pada Desember 2015. [2]
Nusantara dan Serangan Kanker
Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang perjuangan Ibu Ani Yudhoyono, istri Presiden ke-6 RI, saat berjuang melawan leukemia. Kepasrahan Ibu Ani dan kesetiaan Pak SBY hampir setiap hari menghiasi media massa, baik daring maupun luring.
Terkait Indonesia, kanker punya banyak cerita. Ibu Ani hanya satu di antara ratusan ribu penyintas kanker di Nusantara. Ada yang berjuang selama bertahun-tahun, ada yang sudah habis-habisan menguras harta, ada yang akhirnya pasrah bersama linangan air mata.
Pada Mei 2019, Globocan (International Agency for Research on Cancer, IARC/WHO) melansir data tentang persebaran kasus kanker baru di Indonesia. Pada 2018, sebanyak 160.578 laki-laki terkena kanker di Indonesia. Kanker paru berada pada rangking teratas dengan 22.440 penderita. Kolorektum di posisi kedua dengan 19.113 penyintas, dan disusul liver pada urutan ketiga dengan 14.238 penderita.
Pada sisi lain, Direktur Medik dan Keperawatan RS Kanker Dharmais Dr. Nina Kemalasari memaparkan bahwa kasus kanker baru terbanyak adalah kanker payudara 58.526 dari 350.000 kasus kanker baru di Indonesia pada 2018. Kemudian kanker serviks uteri (32.469), kanker paru (30.028), kanker kolorektal (30.017), kanker hati (18.468), dan kanker lainnya 179.576 kasus.
"Kanker termasuk penyakit tidak menular dan merupakan penyebab kematian kedua dalam kasus penyakit tidak menular," tutur Nina pada acara Imunoterapi Kanker: Kekuatan untuk Masa Kini dan Janji untuk Masa Depan yang digelar PT Roche Indonesia di Jakarta, Kamis (25/7/2019). [3]
Paparan data di atas semoga cukup untuk menyentak kita agar segera membangun "kubu pertahanan" guna melawan serangan kanker. Suka tidak suka, seluruh komponen bangsa harus kompak dalam melawan kanker.
Batalion Sel T
Tubuh kita sebenarnya punya "pasukan tentara" yang bertugas melawan, memerangi, dan menghancurkan kanker. Hanya saja, ada faktor penghambat yang membuat para tentara di tubuh kita tidak dapat berperang dengan maksimal.
Pasukan khusus itu lazim disebut sistem imun atau sistem kekebalan. Â Dalam kondisi normal, sistem kekebalan kita pasti mampu mendeteksi dan menghancurkan apa saja yang tidak semestinya berada di dalam tubuh kita, termasuk kanker. Ketika sistem kekebalan "mencium perubahan sel dari sel normal menjadi sel asing", Batalion Sel TÂ segera dikerahkan untuk menghancurkan potensi ancaman itu.
Hanya saja, dilansir roche.co.id, kanker adalah penyakit yang cerdik. Kanker punya banyak cara untuk mengelak atau  menghindari deteksi dan perlawanan sistem imun di tubuh kita. Artinya, kanker punya muslihat untuk mengelabui Batalion Sel T. [4]
Dengan cerdik, kanker memproduksi sejumlah protein yang berfungsi seperti "perisai kukuh". Nah, "protein perisai" itulah yang membuat serangan Batalion Sel T terhadap sel kanker macet. Bahkan, terhenti. Salah satu perisai kukuh itu, protein Programmed Death-Ligand 1 atau PD-L1, malahan mampu mengantar sel kanker menghindari Sel T.
Kecerdikan sel kanker memanipulasi sistem kekebalan tubuh itulah yang mendasari para ilmuwan untuk mencari cara baru di luar metode yang telah digunakan untuk mengobati kanker. Hasilnya menggembirakan.
Dikutip dari laman cancer.org, imunoterapi kanker mulai dikembangkan pada 1970-an. Para ilmuwan dapat memproduksi secara massal antibodi monoklonal yang secara khusus ditargetkan untuk komponen kimia sel kanker. [5]
Harapan Baru Itu adalah Imunoterapi Kanker
Apakah yang membedakan imunoterapi kanker dengan pengobatan kanker lainnya? Baiklah kita ambil pengobatan kemoterapi sebagai pembanding, karena kemoterapi tindakan pengobatan kanker yang paling santer kita dengar hingga hari ini.
Imunoterapi bekerja dengan cara mendorong sistem kekebalan tubuh, termasuk Batalion Sel T, agar lebih kuat dalam melawan, mengendalikan, dan menghancurkan sel kanker. Dengan kata lain, perlawanan itu berasal dari dalam tubuh kita sendiri.
Di sisi lain, kemoterapi bekerja dengan cara menyerang sel kanker. Namun bukan cuma sel kanker yang terkena serangan kemoterapi, melainkan juga semua sel aktif di tubuh kita seperti sel rambut, kuku, atau kulit. Akibatnya sel sehat ikut mati bersama sel kanker.
Itulah perbedaan sederhananya. Imunoterapi membangun kembali semangat juang sistem imun tubuh kita sehingga mampu mencari, mengenali, dan mengendalikan sel kanker. Dampaknya dahsyat. Batalion Sel T, tentara imunitas kita, akan terus-menerus meronda ke seluruh tubuh.
Laman www.kalahkankanker.com bisa jadi rujukan terkait kanker di tanah air. O ya, imunoterapi kanker juga sudah ada dan berkembang di Indonesia. Tentu saja hal itu kabar gembira. Para penyintas kanker di Indonesia bagai melihat cercah cahaya menembus dinding "putus asa" sehingga hati kecil mereka meyakini bahwa "masih ada harapan".
Superhero Baru Itu Mahal?
Kisah keberhasilan Jimmy Carter melawan kanker tentu saja memantik semangat. Tidak lama, Carter hanya butuh tiga bulan masa terapi. Dengan kata lain, harapan sembuh itu masih atau selalu ada. Bahkan autobiografi Carter kemudian menerima Grammy Award pada 2016. Kisah yang "berakhir bahagia".
Akan tetapi, patut dicamkan bahwa tidak semua penyintas kanker sama nasibnya seperti Jimmy Carter. Bagaimanapun, Carter itu mantan presiden. Tidak tanggung-tanggung, mantan presiden Amerika Serikat yang kita kenal sebagai negara adidaya dan adikuasa.
Penyintas kanker di Indonesia tidak semuanya kaya. Itulah titik krusialnya. Biaya. Jika biaya berobat per tiga minggu kita taksir kira-kira Rp30 juta, biaya itu tampak cetek bagi orang kaya, tetapi sangat mahal bagi orang miskin.
Lebih memilukan lagi, imunoterapi kanker tidak termasuk dalam daftar tanggungan Badan Penyelenggara BPJS.Â
Apabila Badan Penyelenggara BPJS bersikukuh tetap tidak menanggung imunoterapi kanker, alamat rakyat miskin menggigit jari. Seperti bermimpi melihat "harapan manis", padahal yang ada justru "kenyataan pahit".
Tetap saja ada harapan. Siapa tahu hati para petinggi negara dan penyelenggara BPJS tiba-tiba terketuk dan jatuh iba, lalu mencantumkan imunoterapi kanker sebagai tanggungan BPJS. Jika itu terjadi, harapan manis atas keberadaan superhero baru bernama imunoterapi kanker akan menjadi kenyataan manis bagi rakyat miskin.
Semoga saja, seperti Jimmy Carter, masyarakat dari kalangan menengah ke bawah juga dapat mengerahkan Batalion Sel T di dalam tubuhnya untuk mengalahkan sel kanker.
Amel Widya
Rujukan:
1. Jimmy Carter dan Kanker Kulit;
2. Jimmy Carter Sembuh dari Kanker;
3. Imunoterapi Kanker Janji untuk Masa Depan;
4. Protein PD-L1 dan Imunoterapi Kanker;
5. Pengobatan Imunoterapi Kanker;
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H