Liberosis. Kata ini benar-benar mewakili perasaan saya sejak gonjang-ganjing tentang Keraton Agung Sejagat dan Sunda Empire menjarah perhatian netizen. Apa hubungannya dengan liberosis? Jadi, begini. Liberosis adalah suasana hati ketika kamu tidak mau peduli terhadap sesuatu, padahal kamu peduli.
Apakah saya peduli pada Keraton Agung Sejagat? Tidak. Sekalipun Sinuhun Totok menguasai Jagat dan Akhirat, bodoh amat. Walaupun Keraton Agung Sejagat berganti nama menjadi Keraton Agung Seakhirat, bodoh amat.
Beda perkara dengan Sunda Empire. Sebagai perempuan Sunda, saya selalu tertawa setiap membaca atau menonton berita tentang Earth Empire yang berpusat di Bandung itu. Benar-benar tertawa sampai kadang mata sendu saya menitikkan air mata.
Marah karena semangat kesundaan saya terusik? Tidak, sih. Miris? Tidak juga. Saya malah tidak mau ambil peduli, padahal saya selalu peduli pada apa saja yang bersangkutan dengan Sunda. Sebut saja saya punya rasa cinta pada tanah air atau tanah kelahiran. Itulah liberosis.
Di sisi lain, saya merasa geli segeli-gelinya melihat tingkah Kaisar Rangga. Petinggi Sunda Empire ini membuat otak saya tergelitik. Balutan seragamnya yang digagah-gagahkan membuat saya tercengang-cengang. Komentar-komentarnya yang diinggris-inggriskan membuat saya terbahak-bahak.
Jadilah saya makin yakin terkena gejala liberosis, yakni tidak peduli padahal peduli. Berikut saya babarkan kenapa saya bisa terpapar liberosis. O ya, liberosis itu "intrik hati" belaka. Tidak ada bahayanya. Beda jauh dengan virus korona yang tengah mengguncang dunia kesehatan.
Pertama, Kaisar Rangga mengabaikan bahasa Sunda. Itu yang mengesalkan. Kenapa harus di-Inggris-Inggris-kan? Kalau memang Kaisar Rangga merasa Sunda selaku poros jagat, pakai saja bahasa Sunda. Kalau Kaisar Rangga emoh berbahasa Sunda, berarti tidak perlu sok-sokan memilih Bandung sebagai pusat dunia.
Kedua, sejarah Indonesia dan dunia pontang-panting. Naga-naganya saya harus memeriksa loker memori saya yang berisi pelajaran sejarah. Setelah beberapa kali saya cek, laci-laci ingatan saya tidak menyimpan sesobek atau secarik pun kabar tentang eksistensi Sunda Empire. Jangan-jangan saya keliru mengeja sejarah. Dan, gara-gara ini saya tertawa sampai menangis.
Ketiga, Kaisar Rangga Sasana pewaris Dinasti Pajajaran Siliwangi. Gara-gara menonton cuplikan obrolan tentang Sunda Empire di ILC, bahu saya terguncang-guncang karena tidak sanggup menahan rasa geli. Pentolan Sunda Empire ternyata sanggup membuat sejarawan Pak Anhar Gonggong, budayawan Babe Ridwan Saidi, dan seniman Om Sujiwo Tejo "terperangah".
Bagaimana denganmu? Silakan buka buku sejarah, siapa tahu ingatanmu kembali segar. Langsung saja masuk ke bagian kerajaan-kerajaan di tatar Sunda dan, saya jamin, kamu tidak akan menemukan apa pun terkait Sunda Empire.
Jadi, dari mana asal klaim Kaisar Rangga Sasana? Pertanyaan itu tidak perlu kamu jawab. Sebagai warganet yang sehat akal budinya, kamu pasti tahu bahwa ada hal yang memang harus dipikirkan. Sunda Empire tidak termasuk dalam bagian itu. Seupil pun tidak.
Anggap saja kamu tengah butuh hiburan sebagai pengalih dari penat pekerjaan. Sunda Empire dan antek-anteknya cocok kamu masukkan pada bagian itu. Ketemu titik lucu, tertawa saja. Ketemu bagian muluk-muluk, tertawa saja.
Sebagai perempuan Sunda yang pengetahuan tentang kesundaannya masih cetek, saya coba melihat Kaisar Rangga dari sisi lain. Saya pikir beliau paham tentang hak kebebasan berpendapat dan berserikat di alam demokrasi Indonesia. Saya juga berpikir, beliau tahu bahwa di dalam negara demokratis, setiap orang berhak berpendapat.
Di republik tercinta ini, setiap orang berhak untuk berserikat atau berorganisasi. Ia manfaatkan kebebasan itu. Jadi sah-sah saja kalau Rangga dan komplotannya mengaku sebagai "dinastinya dinasti", bahkan mendirikan lembaga Kekaisaran Sunda.
Adapun saya, selaku warga negara yang sedang mendalami bagaimana semestinya hidup di alam demokrasi, saya menghargai upaya keras Rangga dan antek-anteknya dalam mengangung-agungkan Sunda Empire. Itu hak mereka.
Hanya saja, saya teringat tentang gangguan psikosis. Christine Brooker dalam Buku Saku Keperawatan (2013; 450) menyebut psikosis sebagai gangguan kejiwaan yang disertai dengan disintegrasi kepribadian dan gangguan kontak dengan kenyataan.
Selintas kepikiran, sepertinya Bapak Rangga terkena terjangan delusi. Jika delusi dicitrakan sebagai sebatang pohon, Sekretaris Jenderal Earth Empire (Kekaisaran Bumi, bandingkan dengan World Empire atau "Kekaisaran Dunia) itu berada di dahan yang bernama delusi megalomania atau delusi muluk-muluk.
Masalahnya berat. Sedalam apa pun pengetahuan antropologimu, iman beliau tidak akan tergoyahkan. Seluas apa pun pengetahuan sejarahmu, keyakinan beliau tidak akan berubah. Jika sudah seperti itu, percuma saja rupa-rupa pendapat dibentangkan di hadapan beliau.
Mengapa pikiran tentang delusi terbetik di benak saya? Alasan saya kuat, karena melihat sikap gigih Pak Rangga dalam mempertahankan pendapatnya tentang Sunda Empire. Dengan begitu, Pak Rangga sedang memperlihatkan eksistensinya bahwa "dia orang penting".
Saking pentingnya, dia yakin seyakin-yakinnya bahwa sudah puluhan negara yang bergabung di bawah singgasananya. Kalau kamu tidak percaya, tidak apa-apa. Itu hakmu. Asalkan kamu tidak sembarangan berpendapat tentang beliau.
Pak Jokowi saja beliau sebut akan dibidik sebagai target operasi Aliansi Tentara Kekaisaran kalau grasa-grusu dalam menanggapi Sunda Empire.
Negara kita adalah negara demokrasi, warganya harus demokratis. Jadi, biarkan saja Kaisar Rangga pelesiran di dalam Kekaisaran Delusional-nya. Kalaupun ada panel termasyhur sekaliber ILC mengundang petinggi Sunda Empire, barangkali karena inisiator acara itu sedang kehausan menanggapi "guyon imajinatif".
Sungguhpun demikian, saya percaya bahwa "kekaisaran yang berkembang" di dalam pikiran Mbah Rangga bukan imajinasi. Bagi saya, itu delusi. Dengan demikian, judul artikel ini keliru. Tidak nyambung. Kamu tidak usah sewot. Cobalah sesekali bersikap "liberosis"!
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H