Kamu sebatas penasaran, aku sepenuh perasaan. Mestinya tak pernah ada pertemuan ini, tetapi senyummu menjatuhkan hatiku. Mestinya tak perlu luluh hatiku, tetapi pelukmu melunakkan hatiku. Mestinya tak pasrah tubuhku, tetapi matamu meminta segalanya.
Barangkali bagimu, tubuh perempuan sebatas lantai dansa. Hasratmu bergerak dalam rentak salsa, punggungmu melengkung seperti liukan zumba, lenguhmu bagai lengking singa menari di atas tubuh mangsa. Lalu kaupergi begitu saja, seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa.
Kamu sebatas penasaran, aku sepenuh perasaan. Ingin kucongkel matamu, kutaruh di kotak kaca, biar perempuan lain tak tunduk lagi pada binar matamu. Ingin kupatahkan lenganmu, kuawetkan di ruang tamuku, biar perempuan lain tak patuh di pelukanmu. Tetapi aku hanya mampu menggerung tanpa daya.
Barangkali bagimu, tubuh perempuan sebatas lantai dansa. Pancar spermamu seperti pancur keringat yang kaubiarkan melicinkan marmer. Matamu mengerjap-ngerjap bagai kerlap-kerlip lampu yang kaubiarkan menanarkan perihku. Lalu kaupergi begitu saja, seolah-olah aku tungku berahi tempatmu menanak nafsu.
Kamu sebatas penasaran, aku sepenuh perasaan. Kamu melenguh, aku mengeluh. Barangkali bagimu, tubuh perempuan sebatas lantai dansa. Kamu melunaskan syahwat, aku meluapkan cinta. Kamu sebatas penasaran, aku sepenuh perasaan. Kamu tertawa, aku tersedak.
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H