Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menunggu Roket Buatan Indonesia Benar-benar Meroket

15 November 2019   17:43 Diperbarui: 15 November 2019   17:40 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Kita kembali ke tanah air. Dukungan Pemerintah Indonesia terhadap riset roket juga tidak kurang. Proyek PRIMA (Pengembangan Roket Ilmiah Militer Awal) misalnya, digenjot oleh AURI, Pindad, dan ITB setelah mendapat mandat dari Presiden Soekarno. Hasilnya mengagumkan. Setelah tujuh bulan bekerja dengan menggunakan alat dan bahan dari dalam negeri, awak PRIMA berhasil merakit roket berdiameter 250 mm dan berbobot 220 kg. Kartika-1, nama pemberian Presiden Soekarno, diluncurkan pada 14 Agustus 1964 di Pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.

Gama-1 dan Kartika-1 sudah 50-an tahun berlalu. Apakah ada keturunannya yang cukup mengharukan dan mengharumkan nama bangsa? Tentu saja kita harus berterima kasih atas kiprah LAPAN yang terus memacu diri, tetapi patut pula kita merenung dan mengambil iktibar sebanyak-banyaknya. Sudah waktunya kita berdiri tegak dan bangga atas karya anak bangsa. Sudah waktunya satelit produksi anak bangsa diluncurkan oleh roket yang merupakan karya anak bangsa pula.

Pada era Orde Baru, aeronautika dan astronautika memang bukan primadona riset. Industri dirgantara saja baru dilirik setelah Pak Habibie kembali dari perantauan. Itu pun setelah melewati perdebatan wacana, pertarungan gagasan, dan petaruhan politik yang luar biasa. Setelah krisis keuangan melanda Nusantara, industri dirgantara macet. Riset roket tetap dipandang sebelah mata.

Setidaknya ada kabar menggembirakan. Jika program LAPAN berjalan mulus dan lancar, tahun depan (2020) kita akan memiliki bandar antariksa yang keren. Bandar antariksa itu dibangun di Pulau Biak, Kabupaten Biak Numfor, Papua. Moga-moga pula, seperti harapan Kepala LAPAN, bandar antariksa di Biak sudah dapat digunakan sebagai tempat uji coba roket bertingkat.

Pada 7 Oktober 1974, R.J. Salatun bertandang ke Amerika Serikat untuk menemui Werner von Braun. Sang maestro roket itu tercengang saat menerima kenang-kenangan berupa wayang kulit Adipati Karna. Katanya, dikutip dari Majalah Angkasa No. 3 Desember 2003, "Membuat wayang kulit jauh lebih rumit daripada membuat satelit. Kuncinya, jangan melakukan riset dari awal."

Hanya saja, kenyataan tidak sesederhana itu. Wakil rakyat, terutama yang duduk di Komisi VII DPR RI selaku mitra kerja LAPAN, perlu "ikut turun tangan" dalam memperhatikan "nasib" riset roket di Indonesia. Pengembangan teknologi aeronautika dan astronautika bukan semata-mata tanggung jawab Pemerintah. Paling tidak, wakil rakyat tahu bahwa tiap tahun selalu ada lomba riset roket bagi anak-anak muda.

Sekalipun menunggu selalu membosankan, kita tentu tetap setia menunggu roket rakitan anak-anak bangsa benar-benar meroket di angkasa!

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun