Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ekonomi Digital: Dibina atau Dibinasakan?

29 Oktober 2019   15:05 Diperbarui: 30 Oktober 2019   04:56 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh sebelum Soekarno dan Hatta, atas nama bangsa Indonesia, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, para pemuda lintas daerah di Nusantara sudah menyadari arti vital persatuan dan kesatuan atas pemerdekaan dan kemerdekaan bangsa.

Tersebutlah pada 28 Oktober 1928 di Batavia, sekarang Jakarta, para pemuda yang semula berpikir sangat kesukuan berembuk dan bersepakat menerima Indonesia sebagai kerangka kerja dalam usaha menghentikan penjajahan Belanda.

Tahun ini, 2019, 91 tahun setelah Kongres Pemuda Kedua dan 74 tahun setelah Indonesia merdeka, Indonesia sudah memancang eksistensinya di kancah internasional. Tidak hanya dalam pergaulan antarbangsa secara konvensional, kehadiran Indonesia juga sangat diperhitungkan dalam konteks hubungan virtual di dunia maya. 

Tidak dapat dimungkiri, Indonesia merupakan salah satu pasar ekonomi digital terbesar di dunia. Itu bukan pepesan kosong. Banyak lembaga riset melalui kajiannya kerap menempatkan Indonesia dalam jajaran pasar ekonomi digital besar di dunia. Hal ini memungkinkan lantaran besarnya jumlah penduduk Indonesia yang setiap hari berinteraksi di internet.

APJII, misalnya, menegaskan bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2018 mencapai kisaran 171 juta jiwa atau 64,8% dari total populasi penduduk Indonesia.

Bukan hanya itu. Besarnya pasar elektronik terlihat pada transaksi ekonomi berbasis elektronik yang jumlahnya menembus angka mencengangkan, yakni ratusan triliun rupiah, seperti niaga elektronik (e-commerce), pinjam-meminjam dana secara digital---lazim dinamai teknologi finansial atau tekfin (financial technology, fintech), transportasi digital (ride hiling), pembiayaan perusahaan rintisan (start-up), valuasi nilai pasar gim daring (game online), bahkan teknologi edukasi daring.  

Sejatinya, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang seiring sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi digital dunia merupakan peluang, sekaligus tantangan, bagi potensi pemasukan devisa lewat sektor pajak. Dalam hal ini, melalui pemajakan atas transaksi ekonomi digital. Peluang dan tantangan itu terpaut erat dengan kesiapan dan kesanggupan otoritas pajak dalam memajaki seluruh transaksi perniagaan digital, termasuk pelaku ekonomi digital. 

Jelas pemajakan sedemikian bukanlah perkara enteng.

Regulasi Pajak Internasional Dilapukkan Zaman
Apakah pemerintah Indonesia dapat memajaki transaksi dan pelaku ekonomi digital tanpa melanggar ketentuan pajak internasional? 

Pertanyaan ini tidak dapat dijawab ala kadarnya. Dewasa ini, belum ada regulasi perpajakan internasional yang memadai guna menarik pajak dari perusahaan multinasional atau wajib pajak nonresiden. Akibatnya fatal. Celah sempit tersebut dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh pelaku ekonomi digital. 

Bukan rahasia lagi, akal-akalan perusahaan digital dunia sangat moncer dalam menghindari kewajiban membayar pajak di negara tempat mereka memasarkan produk-produk digital. Akal-akalan penghindaran pajak itu lazim disebut base erosion and profit shifting atau BEPS.

Alhasil, mereka dengan mudah meraup keuntungan besar tanpa harus hadir secara fisik di negara sasaran pemasaran. Jelas untung bagi mereka dan buntung bagi negara sasaran pemasaran.

Andai kata perusahaan-perusahaan multinasional tersebut hadir secara fisik di negara tempat mereka memasarkan produk digital, di Indonesia misalnya, kemudian mempunyai Badan Usaha Tetap, maka upaya pemajakan dapat dengan mudah dilakukan. 

Faktanya tidak demikian. Inilah celah sempit yang dimanfaatkan dengan jitu oleh pelaku pengemplang pajak pada era digital. Mereka benar-benar memanfaatkan pakem "menggunakan kesempatan dalam kesempitan".

Tentu kita semua menyadari bahwa transaksi ekonomi digital tidak mengenal batas, baik batas daerah, wilayah, maupun negara. Selama jaringan internet dapat diakses oleh konsumen, selama itu pula transaksi dengan mudah terjadi. 

Dengan demikian, penjual dan pembeli tidak perlu bertemu, bertatap muka, atau berhadapan langsung. Tawar-menawar saja dilakukan di ranah internet. Sistem pembayarannya pun beragam. Ada yang memakai pola transfer sebelum pesan, ada yang menggunakan bayar di tempat (cash on delivery).

Transaksi barang pun variatif, dari barang murah seharga puluhan ribu hingga yang jutaan. Rentang usia pembeli pun bermacam-macam, mulai remaja hingga dewasa.  

Bersandar pada perilaku transaksi tersebut, aturan tentang hak pemajakan atas laba yang timbul dari perusahaan multinasional seyogianya diperbaharui. Baik Konvensi Model Pajak OECD (OECD Model Tax Convention) maupun Konvensi Model Pajak PBB (UN Model Tax Convention) sudah lapuk atau tidak pas dengan kondisi terkini. 

Sebagai contoh, tersebut secara tersurat pada Pasal 5 dan 7 dalam KMP OECD bahwa sebuah perusahaan multinasional dapat dikenakan pajak atas laba usahanya di suatu negara hanya apabila berstatus BUT. 

Mari kita ulik fakta terkini. Sebuah perusahaan multinasional di Kanada, misalnya, leluasa menjual produknya di Indonesia walau tidak berstatus BUT di Indonesia.

Kenyataan ini sungguh memedihkan karena menggerus potensi pendapatan negara dari sektor pajak. Lebih memedihkan lagi, bahkan OECD sendiri, melalui Aksi 7 BEPS (BEPS Action 7),  sudah menyadari bahwa definisi BUT harus disegarkan atau diperbaharui demi menghindari penyalahgunaan kewajiban membayar pajak.

Menyikapi Akal-Akalan Pelaku Ekonomi Digital
Apakah yang mesti dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Otoritas Pajak, dalam menghadapi akal-akalan pelaku ekonomi digital semacam itu? 

Celah. Inilah solusi sementara. Jika pelaku ekonomi digital mahir mencari celah untuk berkelit dari tarikan pajak, wajar pula adanya jika pemerintah berinisiatif mencari celah agar kemungkinan memajaki pelaku dan transaksi ekonomi digital dapat dilakukan.

Pemerintah Indonesia seyogianya tidak limpung apalagi linglung. Pemerintah kita bisa berkaca pada pemerintah India yang akan mengenakan pajak baru, equalization levy, sebesar 6% atas penghasilan dari transaksi layanan internet, seperti iklan daring.

Regulasi serupa akan segera berlaku di Prancis, service tax, dengan pemajakan sebesar 3% atas penghasilan perusahaan berbasis digital dengan batasan jumlah penghasilan. Malahan, di Inggris, akan berlaku kebijakan kena pajak sebesar 25%, diverted profit tax, terhadap keuntungan yang dialihkan oleh perusahaan digital multinasional.

Tentu saja regulasi pajak baru seperti di tiga negara tersebut bukan sesuatu yang mudah dipraktikkan. Butuh kejelian, kegesitan, dan ketanggapan atas pertumbuhan dan perkembangan ekonomi digital.

Butuh pula keseriusan, kesungguhan, dan ketangguhan dalam menghadapi trik--jika kita menghindari istilah licik--yang digunakan pelaku ekonomi digital, terutama perusahaan multinasional. 

Sebagai pertimbangan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis, Yustinus Prastowo, mengakui bahwa memajaki ekonomi digital memang sulit dilakukan selama belum ada rembuk pajak yang menghasilkan kesepakatan resmi antarnegara.  Di sisi lain, ekonomi digital terus menggeliat dan menghasilkan keuntungan yang tidak tanggung-tanggung. 

Pemerintah tidak mungkin terus berpangku tangan, menunggu hingga ada kesepakatan pajak internasional, sebab menunggu adalah pekerjaan sulit dan sungguh menguras energi.

Di luar itu, potensi kehilangan pendapatan negara semakin besar, ibarat "perangkap keren" berupa lubang menganga lebar yang pasti sangat merugikan apabila pemerintah tidak bergegas keluar dari sana.

Benteng Virtual bagi Penikmat dan Pelaku Ekonomi Digital
Semua bermula pada 1970-an tatkala inovasi bernama electronic fund transfer (EFT) mulai hadir, kemudian disusul dengan kehadiran electronic data interchange (EDI), dan dipungkasi oleh kemunculan transaksi niaga digital (electronic commerce).

Pada 2012, sebuah lembaga riset niaga digital yang berpusat di Universitas Texas, melansir bahwa nilai transaksi niaga digital sudah melewati angka 1 triliun dolar US. 

Sebuah lompatan yang sangat dahsyat karena pertumbuhan jaringan dan kemudahan mengakses internet melaju amat pesat. Pada era kiwari, seseorang tidak mesti mengeram di kantor atau berkubang di warnet agar dapat meramban internet. Cukup menyalakan gawai cerdas, punya asupan kuota yang memadai, dan dunia segera berada di dalam genggamannya.

Data yang dilansir iPrice dapat memantik decak kagum kita. Pada rentang kuartal pertama 2019, jumlah pengunjung bulanan di situs web Tokopedia menempati peringkat pertama. Tokopedia rata-rata menerima 137.200.900 kunjungan per bulan. Perusahaan bertaraf unikorn lokal lain, Bukalapak, juga mendapat jumlah kunjungan terbesar. Rata-rata jumlah kunjungan situs Bukalapak pada kuartal pertama 2019 mencapai angka 115.256.600 per bulan. 

Kedua perusahaan rintisan lokal tersebut menembus 5 besar kunjungan web terbanyak di regional Asia Tenggara, bersaing dengan pelaku ekonomi digital regional (Shopee dan Lazada) serta serta Tiki dari Vietnam.

Suguhan data di atas sekadar menampilkan betapa besar prospek ekonomi digital di negeri tercinta ini. Google-Temasek menabalkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi digital tertinggi di Asia Tenggara.

Google-Temasek mengutarakan bahwa perputaran uang melalui aktivitas ekonomi digital di Indonesia pada 2018 menembus angka 27 miliar dolar US atau setara dengan 378 triliun rupiah. 

Andai kata Otoritas Pajak berhasil menarik pajak dari semua bentuk aktivitas ekonomi digital sebesar 3%, setidaknya pendapatan negara dari sektor pajak akan bertambah sebesar Rp11,340 triliun. Namun, itu baru sebatas "andai kata" karena regulasi pajak untuk pemajakan transaksi ekonomi digital. Akibatnya, pendapatan puluhan triliun pun hilang begitu saja.

Di sisi lain, konsumen selaku penikmat ekonomi digital pun berada di dunia antara, yakni antara nikmat dan sengsara. Nikmat karena tidak terbebani bea cukai saat memesan barang dari luar negeri, sengsara karena tidak mempunyai perlidungan atas produk yang mereka beli. 

Sekadar menyebutkan contoh, seorang pembeli kosmetik di internet tidak dapat memastikan apakah produk yang mereka beli sudah mendapat label halal ataukah belum.

Sempat merebak polemik di media sosial terkait labelisasi halal tersebut. Sebagian netizen bersikeras bahwa jika di negara asal sudah mendapat label hala maka halal pula untuk digunakan oleh konsumen dari Indonesia.

Sebagian lainnya bersikukuh bahwa mereka menyangsikan kapasitas dan kredibilitas lembaga penjamin halal tidaknya suatu produk. 

Simalakama bagi penikmat ekonomi digital, sebab mereka diuntungkan pada satu sisi dan dirugikan pada sisi lain. Belum lagi, konsumen belanja daring kesulitan dalam mengajukan komplain terhadap produk yang mereka beli apabila produk tersebut mengandung cacat produksi atau tidak sesuai dengan kondite yang mereka lihat di internet.

Di sinilah perlunya negara hadir. Pemerintah harus sigap, tangkas, dan cekatan. Dunia ekonomi digital melaju, sementara aturan bergerak seperti siput. Kasus odar--ojek daring--sempat memantik demonstrasi besar-besaran, sekalipun sempat terdengar selentingan bahwa unjuk rasa pelaku transportasi konvensional mengandung rekayasa.

Meski demikian, setidaknya pemerointah bisa becermin dari kasus tersebut. Aturan main ekonomi digital harus segera dirancang, diputuskan, dan diberlakukan. Pelaku, baik konsumen maupun pebisnis, mesti mendapatkan perlindungan.

Kata "perlindungan" ini pula yang dapat dijadikan "senjata pemikat" agar pelaku ekonomi digital berkenan membayar pajak atas kesadaran mereka sendiri. Dengan kata lain, pajak atas ekonomi digital sejatinya diberlakukan secara persuasif. Kalau bisa, pelaku ekonomi digital menyadari bahwa membayar pajak adalah kebutuhan mereka, bukan semata-mata kewajiban.

Pada Akhirnya: Dibina atau Dibinasakan?
Dalam laporan termutakhir yang dijuduli e-Conomy SEA 2018,  Google-Temasek meramalkan nilai ekonomi digital di Indonesia pada 2025 mendatang akan menyentuh kisaran Rp1,400 triliun. 

Angka yang sangat fantastis. Apabila dikenakan pajak sebesar 3% saja, maka potensi pendapatan negara bertambah sebesar Rp42 triliun. Alangkah banyak bangunan sekolah yang bisa dibangun; alangkah banyak fasilitas laboratorium dan bengkel kerja yang bisa dipunyai; alangkah banyak rumah sakit yang diperbaiki; alangkah banyak fasilitas sosial yang bisa dimiliki dari pendapatan tersebut.

Jika 91 tahun lalu para pemuda dari seantero Nusantara berkumpul di Batavia demi kemerdekaan bangsa tercinta, sekarang pemerintah tidak perlu ragu-ragu untuk menggugah dan menggugat kesadaran pelaku ekonomi digital lokal. Termasuk, para konsumen ekonomi digital di seluruh penjuru Nusantara. 

Pemerintah harus mengajak mereka untuk duduk bersama, berembuk demi memerdekakan negara dari "potensi kehilangan pendapatan", dan bersatu demi kemajuan bangsa.

Jadi, dibina atau dibinasakan? Tentu saja kita semua dapat bersikap bijak dan arif.

Amel Widya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun