/1/
Aku ingat pesan Ibu. Kata Ibu, telan saja jika ada orang yang menghinamu. Kadang hati kecilku berontak, tetapi pesan Ibu sungguh menenangkan hati. Pagi ini juga begitu. Kelas X-1 masih sepi. Baru beberapa siswa yang datang. Tiga pasang mata perempuan menatapku sangat tajam sampai pantatku merasa panas.
Kemarin, ketiga teman sekelasku itu berulah. Ketika praktik bola voli, mereka sengaja menabrak dan meludahiku. Sepulang sekolah, mereka menggunting bagian bawah rokku hingga paha mulusku jadi santapan murid lelaki. Aku merasa terhina, tetapi aku diam saja.
Kini ketiganya berjalan pelan ke arahku. Mata mereka seperti tiga pasang cakar elang yang siap mencabik-cabik kulitku. Sonia, perempuan paling ditakuti di kelasku, berkacak pinggang di depanku. Tidak berkata apa-apa, tetapi sinar matanya begitu mengancam. Dua pengawalnya, Tania dan Dini, berdiri di sampingnya.
Tasku kini terangkat ke udara, menghadap ke bawah dengan resleting menganga, dan isinya tumpah berserakan di lantai. Sonia terkekeh-kekeh. Gema tawanya memecah keheningan dan mengguncang perutku.
Ia jambak rambutku sambil mendesis, "Bilang ke nyokap lo, cari uang yang halal. Jangan jadi simpanan!"
/2/
Namaku Mehrin. Aku anak tunggal dari seorang ibu yang dicap istri simpanan lelaki tua kaya raya. Tetapi, aku mencintai ibuku. Aku selalu ingat pesan Ibu. Kata Ibu setiap kuceritakan perlakuan Sonia dan gengnya, telan saja sakit hatimu jika ada orang yang menghinamu.Â
Pagi ini hatiku menuntut agar aku melawan, memberontak, dan membalas perlakuan Sonia. Tetapi, lagi-lagi pesan Ibu menenangkan hatiku. Toilet perempuan sedang sepi ketika aku membasuh wajah di wastafel.
Tiga tubuh tinggi semampai berdiri di mulut pintu. Mata mereka menatapku amat lekat seakan hendak menelanjangi tubuhku. Ketiganya berjalan pelan ke dalam toilet. Tania menutup pintu, Dini menguncinya. Aku merasa bulu tengkukku meremang.
Sonia kini berdiri di sampingku, menjilat tubuhku dari atas ke bawah dengan sepasang mata elangnya. Sambil meringis ia merogoh saku roknya dan mengeluarkan sebungkus rokok. Dengan tenang ia sulut sebatang, mengisapnya dalam-dalam, dan mengembuskan asapnya ke wajahku. Rokok yang terselip di jemarinya kini ia jentikkan ke wajahku dan kupingku mendadak dijadikan asbak olehnya. Sangit kulit kupingku tersulut rokok.