Di hutan rindu yang berbahaya, sembap, dan mengerikan, aku terjatuh ke lubang putus asa. Tak ada jejak pelukmu di punggungku. Tak ada bekas bibirmu di tengkukku. Tak ada getar napasmu di telingaku. Hanya gagap daun dan lembap cuaca.
Dari langit yang muram, satu-satunya lampu digantungkan Tuhan. Samar-samar bayangmu memanjang, begitu panjang, mengalahkan batang-batang pohon dan dahan-dahan gairahku. Tuhan sengaja menyeretku ke hutan rindu, menyesatkan aku di sini, dan sendu menghantu.
Aku tengah berlibur beberapa jenak: melupakan beban pekerjaan, meninggalkan riuh kemacetan, dan menjauh dari kertas-kertas neraca. Tetapi, tak satu pun sudut di hutan ini yang memampang wajahmu. Makin giat kudekatkan tubuhmu ke benakku, Tuhan makin gigih menjauhkanmu dari berahiku.
Aku termangu di hutan sendu. Tersesat merindumu.
Amel Widya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H