Ketabahan. Pelajaran terbesar dari film ini adalah bagaimana tabah dipiara sebaik mungkin oleh para petambang. Mereka merawat harapan hidup. Mereka berusaha keras bertahan hidup. Sungguhpun hanya menunggu bantuan penyelematan tiba, para penyintas itu memupuk rasa tabah sekuat tenaga.
- Ketangguhan. Ketika tangga ke cerobong asap ternyata tidak memunculkan peluang keluar dari perut bumi, para petambang membuang putus asa dari pikiran mereka. Memang Alex sempat berniat mengakhiri dengan melompat ke lubang hitam, tetapi Mario berhasil menyadarkannya.
- Keadilan. Makanan hanya cukup untuk beberapa hari. Andaikan tidak ada kesepakatan untuk berbagi sama rata sama rasa, andaikan setiap petambang mementingkan ego, andaikan cekcok akibat berebut makanan terjadi, pastilah para penyintas tidak akan mampu bertahan di perut bumi selama 69 hari.
- Kepemimpinan. Mario bukan malaikat yang serbasempurna. Ia juga manusia biasa yang punya cacat cela. Namun, ia berhasil mengesampingkan kepentingan dirinya sendiri demi kebersamaan. Hal sama terpancar dari sosok Sang Pastor. Ia juga keletihan, tetapi ia masih sempat menyemangati para buruh.
- Kepedulian. Setelah dicoba-coba berkali-kali, upaya penyelematan tak kunjung berhasil. Mata bor patah, alur bor melenceng, dan peralatan yang tidak memadai mewarnai upaya penyelamatan. Meski begitu, tim penyelemat tidak berputus asa. Mereka terus mencari cara untuk menemukan jalan penyelamatan.
- Kesetiaan. Akhirnya batu baja yang beratnya setara dengan dua kali berat gedung Empire State tembus juga. Hanya saja, itu bukan jaminan para petambang dapat segera diselamatkan. Masih butuh 30 hari lebih untuk membuat lubang tempat kapsul pengangkut diturunkan. Di sinilah konflik baru bermula. Meski begitu, kesetiaan mengikat hati para petambang bagai buhul yang tidak mengenal putus.
Masih banyak pelajaran lain yang saya petik dari film ini, tetapi semoga lima poin itu cukup untuk mewakili perasaan dan pikiran saya. Sebab, sejatinya film ini menyuguhkan tontonan mengenai cara memanusiakan manusia. Bukan hanya itu. Film ini juga menunjukkan bagaimana semestinya kita memanusiakan diri sendiri.
Saya sempat tergugu ketika kaleng tuna terakhir dibagi ke dalam 33 gelas plastik. Halusinasi para buruh kontan muncul. Ada yang membayangkan ibunya datang membawa sepiring spageti, ada juga yang amat senang membayangkan istrinya datang dengan senampan makanan. Bahkan, ada yang berhalusinasi akan memerah susu sapi untuk dibagikan kepada rekan-rekannya.
Ya, film ini memang menyangkut pertarungan antara hidup dan mati. Tidak heran jika The 33Â berpotensi memeras sendu dan memerah air mata pemirsa. Suasana tegang ketika Alex, petambang pertama yang diangkut ke luar dari kedalaman 700 meter di dalam tanah. Sungguh mengharukan melihat Alex memeluk istri, mencium bayinya, dan memeluk ayahnya.
Apalagi ketika Dario keluar dari kapsul pengangkut dan tidak melihat Maria, adiknya, berdiri di antara para keluarga korban. Ia berjalan seperti orang linglung. Bukan apa-apa. Selama ini ia telah mengabaikan Maria. Ia ingin sekali memeluk saudaranya itu seraya memohon maaf setulus hati.
Tidak percaya? Silakan simak cuplikan filmnya di bawah ini.
Rasa haru juga menyeruak ketika air mata menggenang di kelopak mata Pak Menteri dan Pak Insinyur. Film yang benar-benar sarat makna. Film tentang buruh yang tak lekang waktu. Film tentang kisah nyata yang benar-benar pernah terjadi di Cili. Film tentang bagaimana merawat cinta kasih kepada sesama.
Maka pada Hari Buruh dengan langit berawan ini, saya mengurai nilai-nilai kemampuan bertahan hidup di kalangan buruh dalam film The 33.Â