Mohon tunggu...
Amel Widya
Amel Widya Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - PPNASN

Perempuan Berdarah Sunda Bermata Sendu. IG: @amelwidyaa Label Kompasiana: #berandaberahi

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Katakan Sayonara pada Kendaraan Pribadi

29 April 2019   12:35 Diperbarui: 30 April 2019   10:26 1250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Macet. Itulah kata pertama yang melintas di benak saya setiap mengingat Jakarta. Memasuki ibu kota Republik Indonesia itu tiada berbeda dengan memasuki belantara kemacetan. Jangankan jalan protokol, jalan tol saja macet.

Saya tidak asbun atau "asal bunyi". Terkait macet, Jakarta memang sudah sangat masyhur hingga ke seluruh penjuru dunia. Berdasarkan indeks yang dilansir oleh Stop-Start pada 2014, seperti dinukil oleh Rappler.com, kota yang menjadi jantung Nusantara itu didaulat sebagai Kota Termacet Sedunia. Predikat kedua dan ketiga masing-masing diduduki oleh Kota Istanbul dan Kota Meksiko.

Tingkat kepadatan Jakarta pada 2014 memang sangat tinggi. Meski begitu, tak usah kaget. Tingkat kemacetan di Jakarta kini mulai agak menurun. Riset yang dilakukan oleh Inrix pada 2017, sebagaimana dikutip oleh Kompas.com, menunjukkan penurunan kemacetan di Jakarta. 

Posisi kota yang dahulu pernah bernama Batavia itu menurun hingga ke peringkat 12. Tujuh peringkat teratas ditempati secara berurutan oleh Los Angeles (USA), Moskow (Rusia), New York (USA), Sao Paolo (Brasil), San Fransisco (USA), Bogota (Kolumbia), dan London (Inggris).

Mengapa kemacetan di Jakarta bagai penyakit yang sukar disembuhkan? Jawaban pendek yang bisa kita sorot adalah banyak faktor penyebabnya. Jawaban ini laksana kilah belaka yang kerap dijadikan alasan oleh pemerintah dan masyarakat untuk "melarikan diri dari belitan masalah". 

Ada pula jawaban lain yang sedikit nyeleneh: nikmati saja. Dan, jawaban lain itu bagai buah simalakama yang suka tidak suka mesti ditelan bulat-bulat oleh warga Jakarta ataupun siapa saja yang mencari hidup di Jakarta.

Mengapa Kita Malas Menggunakan Transportasi Massal?
Pertanyaan tersebut patut diajukan setiap orang yang sehari-hari bersentuhan dengan Jakarta. Bukan apa-apa. Transportasi massal yang terintegrasi sudah ada. Pilihan sudah tersedia. Jika kita enggan naik angkot atau minibus, setidaknya sudah ada Bus Raya Terpadu (Bus Rapid Transit, BRT) bernama Transjakarta. 

Pihak PT KAI juga sudah menambah jumlah kereta sehingga kita bisa menggunakan Komuter atau KRL Commuter Line. Sudah ada pula Moda Raya Terpadu (Mass Rapid Transit, MRT). Bahkan "angin surga" transportasi sudah berembus dengan kehadiran LRT Jakarta. Ya, LRT Jakarta sudah menguji coba Lintas Rel Terpadu (Light Rail Transit, LRT). Nikmat apa lagi yang hendak kita ingkari?   

Walaupun demikian, tetap saja banyak orang yang malas menggunakan transportasi massal karena berbagai alasan. Silakan tilik infografis berikut.

Dokumentasi Pribaadi
Dokumentasi Pribaadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun